Kamis, 14 Februari 2008

Salahuddin Wahid: Negara Tidak Boleh Merujuk MUI


JAKARTA: Pemerintah Indonesia sudah saatnya berjalan dalam konsep kenegaraan yang benar, yaitu sebagai lembaga yang bertugas melindungi rakyatnya. Karena itu, kebijakan yang diambil pemerintah dan lembaga-lembaganya hendaknya berjalan dalam konsep kenegaraan yang sesungguhnya. Semua dan segala kebijakan negara harus bernuansakan melindungi rakyat. Dus, kebijakan pemerintah gak perlu berkaca pada kebijakan atau segala fatwa yang diputuskan lembaga non-pemerintah.

Pendapat itu dilemparkan
Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng Salahuddin Wahid di sela-sela seminar mengenai Jaminan Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk Kebebasan Beragama dan Beribadah Menurut Agama dan Kepercayannya di Hotel Sultan, Kamis (14/2).

Salah satu kebijakan yang membuat sepet pria parobaya yang populer disapa Gus Solah ini, adalah kebijakan pemerintah dalam jalur keagamaan Islam yang selalu dan selalu merujuk pada
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Senyampang MUI berfatwa "haram" terhadap sebuah masalah atau fenomena bernuansa Islam yang berlaku di masyarakat, maka sudah dapat dipastikan pemerintah akan ikutan memutuskabn haram. Dus, KUHP dan aturan-aturan hukum lainnya diberlakukan.

"Kalau pemerintah terus-terusan merujuk pada fatwa lembaga-lembaga non-pemerintah dalam mensikapi sebuah masalah, bukan gak mungkin kita akan diketawain negara lain. Karena kebijakan tersebut sama halnya dengan sebuah negara dalam negara," ujarnya sembari senyum kecut menggurat di bibirnya yang keriput.

Fatwa
sesat Ahmadiyah dari MUI, misalnya. Fatwa MUI itu, menurut mantan anggota Komnas HAM itu, seharusnya tidak dijadikan pemerintah dalam melakukan vonis hukum atas keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Fatwa MUI itu cukup dijadikan salah satu rujukan informasi, karena fatwa tersebut merupakan sudut pandang agama Islam dari para anggota MUI. Bukan sudat pandang agama Islam seluruh muslim Indonesia.

"Sedangkan rujukan yang perlu dijunjung pemerintah dalam mengambl keputusan terhadap Ahmadiyah maupun masalah keagamaan yang terjadi di Indonesia, cukup UUD 1945 dan undang-undang. Karena UUD 45 dan undang-undang yang ada di Indonesia itu dibuat untuk membuat nyaman dan aman rakyat Indonesia," katanya.

Komentar lebih pajit dilontarkan oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution. Menurut ia, dalam melaksanakan roda pemerintahan yang sehat pada saat ini pemerintah masih ragu-ragu. Seharusnya kalau memang Ahmadiyah itu terbukti melanggar dan menghina agama Islam secara hukum, maka langsung aja dilarang. Namun, kalau bukti hukum Ahmadiyah belum jelas dan pasti, maka para penganut
Ahmadiyah harus dilindungi. Artinya, siapa pun oknumnya jika melakukan kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah, maka pelaku kekerasan itu harus ditindak dan diadili secara hukum.

"Saya sebagai muslim dan pelaku hukum sangat-sangat tersinggung saat melihat tayangan tempat ibadah Ahmadiyah dirusak massa. Padahal tempat ibadah Ahmadiyah itu bentuk dan namanya adalah masjid, musalah, atau pun langgar," ujar pendiri organisasi LBH (Lembaga Bantuan Hukum) ini.

Secara hukum yang berlaku di Indonesia, dikatakan, seharusnya oknum masyarakat yang merusak tempat ibadah itu ditangkap, diadili, dan dihukum. Sebab perilakunya merusak tempat ibadah itu dapat dikategorikan sebagai penghinaan terhadap agama Islam.

Sedangkan pemdapatnya akan keberadaan MUI, dinilainya, lembaga ini secara eksplisit merupakan warisan Orde Baru. Lembaga ini dibangun rezim Suharto sebagai cara untuk mengontrol dan menyeragamkan rakyat. Karena itu, keberadaan lembaga ini perlu ditinjau lagi. Apakah lembaga ini masih perlu ada di Indonesia dalam kondisi politih yang sudah penuh keterbukaan dan sangat menjunjung tinggi hal asasi warganegara ini.

"Pertimbangan lainnya pemerintah sudah saatnya bersikap realis, bahwa umat manusia berhak memvonis sesat terhadap orang lain yang keyakinan atau cara beribadanya berbeda atau tidak umum. Sebab segala bentuk vonis yang bernuansa keagaamaan adalah milik Allah," ujarnya. ma

0 komentar:

Posting Komentar