Sabtu, 16 Februari 2008

Kebijakan Suharto Meracik Ekonomi Orde Baru

Mantan presiden Suharto
Kebjiakan ekonomi pada awal pemerintahan Suharto berhasil menekan inflasi yang sangat tinggi
Suharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden akibat fondasi ekonomi Indonesia ambruk diterjang krisis dan gelombang politik yang menghendaki perubahan.

Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi pada awal kepemimpinan jenderal purnawirawan ini pada tahun 1968.

Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama.

"Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun," kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto.

Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun.

Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya.

Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.

'Terikat modal asing'

Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas.

Presiden Suharto beberapa bulan sebelum melepaskan jabatan pada tahun 1998
Presiden Suharto menandatangi kesepakatan IMF beberapa bulan sebelum mundur di tahun 1998

Suharto menamai programnya 'Pembangunan Lima Tahun' atau PELITA, yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.

Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.

"Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang," kata mantan menteri koordinator perekonomian Indonesia antar tahun 1999-2000.

Namun menurut Emil Salim, untuk menggerakkan pembangunan, Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980.

Kemajuan sektor migas

Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia.

"Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi," kata pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak.

Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik.

Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.

Lebih lanjut, Emil Salim menilai, pendekatan seperti yang dilakukan Suharto pada awal pemerintahannya lazim dipraktekkan oleh para pemimpin di kawasan Asia Timur dan Tenggara.

"Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal," kata Emil Salim.

Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960

Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.

Titik balik

Masa keemasan ekonomi Orde Baru, kata Emil salim, mengalami titik balik ketika memasuki tahun 1990-an, saat BJ Habibie dengan visi teknololgi masuk merambah bidang ekonomi.

Suharto ketika menyatakan mengundurkan diri
Suharto melepaskan jabatan setelah unjuk rasa besar-besaran tahun 1998

Tetapi, Kwik Kian Gie tidak sependapat dan dia menilai Habibie bukan faktor penting dalam titik balik ekonomi Orde Baru.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru terkesan begitu memukau," kata Kwik, namun menurutnya di sisi lain kesenjangan dan kemiskinan adalah akibat kebijakan ekonomi liberal.

Krisis moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan tuntutan reformasi total, dia anggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan tersebut yang diperburuk oleh situasi politik.

Namun, pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak mempunyai analisa berbeda tengan jatuhnya Suharto.

"Krisis ekonomi untuk sebagian orang memang bisa ditelusuri ke praktek kebijakan, bukan desain kebijakan di atas kertasnya," kata Djisman.

Pengamat ekonomi ini menilai pada prakteknya kebijakan pemerintahan Suharto sarat dengan berbagai penyelewengan seperti kolusi, korupsi dan nepotisme pada kroni Suharto.

Pada saat yang bersamaan, rakyat menuntut suksesi politik. Dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia menjadi pemicu krisis politik yang sudah dipendam oleh rakyat, tambah Djisman Simandjuntak. ma

sumber:BBC

0 komentar:

Posting Komentar