Sabtu, 16 Februari 2008

Kebijakan Suharto Pacari Kelompok Islam

Pemerintah Suharto mengendalikan kehidupan politik secara ketat
Pemerintah Suharto mengendalikan kehidupan politik secara ketat
Lambang dan jargon Islam semakin kerap muncul dalam berbagai perhelatan publik saat Suharto terlihat semakin akrab dengan sebagian kelompok Islam sejak awal tahun 1990-an.

Mereka yang diakrabi pak Harto itu termasuk para tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, ICMI.

Dan, kedekatan itu mencapai titik puncak saat Pak Harto memilih BJ Habibie untuk mengisi kursi wakil presiden, kata pakar sejarah Anhar Gonggong dari Universitas Indonesia.

Menurut Anhar, kedekatan Suharto dengan ICMI terkait dengan keinginannya untuk menciptakan lingkungan intelektual Islam yang bisa mendukung dia.

Menjelang tahun 1990-an, ada sekelompok cendekiawan di Malang merintis pendirian ICMI.

"Kemudian, ditampilkan Habibie sebagai seorang tokoh yang seakan-akan mewakili cendekiawan Islam," kata Anhar.

"Dan, itu juga strategi Suharto untuk melakukan pendekatan kepada kekuatan Islam yang digambarkan seakan-akan kekuatan yang digambarkan sebagai kekuatan Islam...seakan-akan Islam mendukung dia," katanya

Ancaman

Tapi, seperti apa sebenarnya kebijakan politik Suharto terhadap Islam, selama memimpin Orde Baru?

Presiden BJ Habibie ketika dilantik sebagai presiden RI
Suharto ingin Habibie dan ICMI dilihat sebagai dukungan Islam

Menurut sejarawan, Anhar Gonggong sejak awal berkuasa Pak Harto cenderung melihat kalangan Islam sebagai ancaman bagi kekuasaan.

Setelah menjadi presiden, Suharto melancarkan sejumlah perubahan terkait dengan rencana pembangunannya dan menciptakan kestabilan.

"Terlihat di situ Suharto menciptakan kekuatannya sendiri, yaitu golkar dan tentara," kata Anhar.

Berikutnya Suharto menggelar pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971 dengan hasil Golkar (saat itu masih Sekber Golkar) keluar sebagai pemenang.

"Tetapi kekuatan Islam juga tetap kelihatan cukup besar, maka Suharto harus berusaha bagaimana caranya untuk mengeliminasi kekuatan Islam sebagai kekuatan politik, " jelas Anhar.

Pendapat Anhar Gonggong ini bertolak belakang dengan pandangan tokoh Eksponen 66, Cosmas Batubara.

'Keperluan politik'

Cosmas Batubara, yang pernah menjabat menteri dalam kabinet Pak Harto, mengatakan, kebijakan Pak Harto menyatukan partai-partai Islam ke dalam satu partai adalah untuk memenuhi keperluan politik pada saat itu.

"Kita sudah menjadi korban pertarungan ideologi zaman Nasakom, zaman Sukarno, itu mau ditinggalkan, karena sudah bersepakat ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945," kata Cosmas memberikan alasan kebijakan fusi tersebut.

Menurut Cosmas Batubara, sebenarnya dilihat dari aliran politik yang ada saat itu, "penyederhanaan itu menjawab kepentingan pembangunan pada saat itu".

Namun, pengamat politik Islam Syafii Anwar dari International Centre for Islam and Pluralism melihat kebijakan terhadap kelompok-kelompok Islam adalah bagian dari upaya Suharto memperkuat hegemoni kekuasannya.

Menurut Anwar, kebijakan Suharto terhadap kelompok-kelompok Islam mengikuti beberapa pembabakan. "Tahap pertama itu tahap yang sangat hegemonik sekali," katanya.

Anwar menggambarkan periode 1968-1979, Pak Harto menerapkan "kebijakan terhadap umat Islam yang sangat represif sekali", termasuk Undang-Undang Perkawinan dan fusi partai-partai Islam.

"Pokoknya, tekanannya itu adalah pada pemerkuatan rezim Orde Baru," kata Anwar.

Dampak kebijakan

Apapun alasannya, kebijakan represif Suharto mendatangkan dampak besar berkepanjangan bagi banyak aktivis dua organisasi Islam terkemuka Indonesia, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

"Itu bahkan NU sendiri, kalau bisa Pak Harto ingin bukan NU yang memimpin, " kata
KH Mustofa Bisri, Tokoh senior NU

Menurut tokoh veteran NU, KH Mustofa Bisri, organisasinya sering menjadi bulan-bulanan rezim Suharto.

Mustofa Bisri menilai Pak Harto dan rezim Orba "fobi terhadap NU itu sangat luar biasa".

"Itu bahkan NU sendiri, kalau bisa Pak Harto ingin bukan NU yang memimpin," ujarnya.

Menurut Mustofa Bisri, intervensi Orba terhadap pemilihan pimpinan NU itu dimaksudkan "supaya (NU) tidak ada yang kuat atau memimpin".

Namun, bagi orang luar, tetap ada pertanyaan mengenai kebijakan pemerintahan Suharto terhadap NU yang sering dilihat sebagai organisasi "moderat".

Menurut Mustofa, kebijakan itu terkait dengan ketidakinginan Golkar, yang bersama tentara menjadi kekuatan utama yang tersisa pasca Sukarno, untuk melihat NU menjadi saingan.

Tidak hanya NU yang merasakan tekanan rezim Pak Harto seperti yang dituturkan KH Mustofa Bisri.

Pergantian kepemimpinan

Mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif harus menempuh berbagai jurus untuk bisa bertahan dari tangan kekuasaan pemerintahan Suharto, termasuk soal campur tangan dalam pemilihan pimpinan Muhammadiyah.

Amien Rais
...Karena umatnya sudah hampir bulat mendukung Amien Rais, akhirnya Pak Harto tidak bisa berbuat apa-apa
Syafii Maarif
Tokoh senior Muhammadiyah

Syafii Maarif mencontohkan, waktu Muktamar Aceh 1995, sebenarnya Amin Raies dihalangi untuk dipilih untuk memimpin Muhammadiyah.

"Tetapi, karena umatnya sudah hampir bulat mendukung Amien Rais, akhirnya Pak Harto tidak bisa berbuat apa-apa," kata Syafii.

"Padahal, Anda tahu sudah sejak tahun 1993 Amien Rais, yang waktu itu belum menjadi ketua..sudah meluncurkan gerakan untuk perlunya pergantian kepemimpinan nasional," kata mantan ketua PP Muhammadiyah 1999-2004.

Terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial, Syafii mengatakan, "asal kita tidak memasuki politik, itu ya tenang-tenang saja".

'Banting stir'

Mengenai sikap Pak Harto yang sejak awal 1990-an berubah menjadi dekat dengan sebagian kalangan Islam, Syafii menilai "banting stir itu tidak tulus."

Warga muslim menunaikan salat idul fitri'
Kubu muslim menyiasati hegemoni dengan dakwah 'kultural'

Tokoh Muhammadiyah ini mencontohkan didirikannya ICMI dan berbagai bank muammalat.

"Sesungguhnya hanyalah dalam rangka mengukuhkan kekuasaannya penting, karena pihak tentara sudah mulai tidak senang lagi dengan dia, paling tidaknya beberapa oknum penting... dia mencari dukungan umat Islam," tandas Syafii.

Banting stir, seperti yang dikatakan Syafii Maarif dari Muhammadiyah, ditempuh sebagai pilihan terakhir Pak Harto.

Sebelum itu, saat masih sangat berkuasa, pimpinan Orde Baru itu telah menempuh berbagai strategi politik terhadap Islam di Indonesia, mulai dari represif, akomodatif, hingga politik kooptasi, kata pengamat politik Islam, Syafii Anwar.

Antara 1980-1984, demikian jelas Syafii Anwar, Pak Harto mulai merasa umat Islam akan melawan jika ditekan.

Untuk itu, Pak Harto mengubah kebijakan dengan memberikan sumbangan kepada masjid-masjid dan mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila setelah memberlakukan ketentuan Asas Tunggal Pancasila.

"Setelah merasa saya sudah memberikan bantuan kepada madrasah, kepada pesantren, ideologi kamu harus satu dong (Asas Tunggal Pancasila)," tutur Syafii.

Menurut Anwar, banyak warga masyarakat sebenarnya menolak kebijakan Pak Harto itu. "...Mereka melakukan dakwah yang kultural sebagai perlawanan terhadap hegemoni politik Suharto," ujarnya.

Berikutnya, Pak Suharto melihat umat Islam bisa dijadikan "teman" yang bisa diajak bekerjasama, tambah Syafii.

'Ahli Strategi'

Menurut Syafii Anwar, inilah yang melatarbelakangi hubungan dekat Pak Harto dengan pemuka ICMI.

"Dukungan Pak Harto terhadap ICMI itu luar biasa sekali. Politik yang mula-mula menjauhkan Islam dari negara, menjadi melekat dengan negara," katanya.

Namun, dia juga mencatat kebijakan akomodatif Pak Harto terhadap sebagian kelompok Islam itu belakangan berubah menjadi "politik kooptasi".

Menurut Syafii Anwar, perubahan kebijakan tersebut terhadap kalangan muslim merupakan bukti Pak Harto "ahli strategi yang hebat".

"Walaupun pada saat-saat terakhir, kalau mau orang mau fair (adil), kegagalan Pak Harto Itu karena krisis ekonomi," katanya.

"Di situ dia kalah kalkulasi, karena dia fikir orang Islam bisa dikooptasi terus, tanpa bersikap kritis," tambah pengamat politik Syafii Anwar.

Lepas dari berbagai jurus politik yang diperagakan, seperti dicatat Syafii Anwar, Pak Harto akhirnya lengser tahun 1998.

Jadi, bagaimana umat Islam akan mengenang pemerintahan Pak Harto? Jawabnya bergantung pada siap yang ditanya, kata KH Mustofa Bisri dari Nahdlatul Ulama.

"Jangan dilihat hanya dari segi dagingnya (luarnya saja)," kata Mustofa Bisri

"Kalau persoalan bahwa ada banyak masjid dibangun, lalu itu baik dengan Islam. ....Itu mungkin orang Islam lain berpendapat begitu, kalau saya tidak," kata Mustofa yang juga dikenal sebagai sastrawan.

"Kalau ada pemerintahan atau penguasa tidak memihak, tidak mengayomi kepada rakyatnya, itu tidak Islami sama sekali....apalagi membelenggu rakyat," katanya. ma

sumber: BBC

0 komentar:

Posting Komentar