Rabu, 28 Oktober 2009

H. Tarwi : Surabaya Harus Kembali Jadi Barometer Balap Sepeda Nasional


 oleh Prima Sp Vardhana



MELIHAT penampilannya yang trengginas dan postur tubunya yang aletis dibalut otot-otot yang bertonjolan. Hanya kenalan dan teman seangkatan H. Tarwi yang tahu , bahwa pria yang senang berbicara blak-blakan ini sudah berusia kepala 6 tepatnya 67 tahun. Mengapa demikian. Kondisi fit impian setiap orang usia parobaya itu menjadi milik legenda hidup balap sepeda Indonesia ini, karena ikatan batinnya dengan dunia balap sepeda yang hingga saat ini masih membara. Tak pelak lagi, dunia balap sepeda pun tetap mewarnai rutinitas kehidupan sehari-harinya.
“Balap sepeda mungkin sudah menjadi garis takdirku, sehingga saya tak bisa meninggalkan cabang balap sepeda. Apalagi saat melihat kondisi prestasi kita di tingkat nasional maupun Asia yang terayun-ayun tak menentu bak sebuah sampan kayu di lautan luas,” kata H. Tarwi saat dtemui di rumahnya di Jl. Ngagel Kebonsari.
Sore itu, Tarwi tengah mandi keringat. Namun dia terlihat tak gerah dengan kaos oblong basah kuyup yang membungkus tubuhnya yang masih kekar. Itu tercermin dari gerakan tangannya yang tampak sibuk menyeting sebuah sepeda balap. Ia menyulap sepeda balap tersebut dalam kondisi siap berlaga. Aktivitas itu menjadi bagian hari-harinya sebagai pelatih Pengkot ISSI Surabaya dengan target satu emas Porprov II/ 2009. Namun dalam PON Mini itu, tim balap sepeda Surbaya hanya mampu mendulang 2 perunggu. Itu pun disumbangkan dari kategori putri. Masing-masing buah tangan Yessika Novayanti saat tampil di nomor Circuit Race dengan catatan waktu 52 menit 44 detik.
Sebelumnya Yessica juga menyumbangkan medali perunggu dari nomor road race, meski ia masuk di posisi kedua di belakang sang juara Elga Kharisma (Kota Malang). Namun medali perak Yessika dianulir juri pertandingan dan diganti perunggu, karena aksi lajang berkuli keling ini pada 300 m menjelang finish. Aksinya dinilai membahayakan pembalap Lumajang, Tri Kurniasari saat adu sprint untuk masuk finish. Yessika dan Tri sama-sama memiliki catatan waktu 1 jam 48 menit 02 detik. Sedangkan Elga 2 detik lebih cepat dibanding keduanya.
Kendati demikian, ternyata  prestasi 2 perunggu itu sudah cukup menggembirakan Tarwi. Pasalnya prestasi Yessica itu terdulang dengan waktu penggemblengan selama 7 bulan saja. “Kalau saja, saya mendapat kesempatan untuk memoles para atlet setahun lebih, seperti yang dilakukan ISSI Malang dan daerah lain. Insya Allah tim balap sepeda Surabaya mampu mendulang medali emas minimal satu keping,” katanya saat bertemu di arena Porprov II.
MENGEMBALIKAN KIBLAT
Duduk di ruang tamu kediamannya, dia menerawang dimana era keemasan Surabaya saat masih memiliki Wawan Setyobudi, Matnur, Samai, dan Kaswanto. Kala itu Surabaya menjadi momok bagi semua daerah. Apalagi saat dibanding dengan era 60-an dimana dia bersinar bersama Theo Gunawan, Sapari, Lee Kim Pon, Toha, Herman Van Kempen dll.
"Diantara atlet balap sepeda Surabaya sudah pergi dan tidak akan kembali ke Surabaya, sekalipun fisik mereka adalah warga Surabaya. Saya tidak tahu, apakah sepeda Surabaya sudah mati, dimatikan atau sebab lain," imbuhnya.
Keironian yang membelit balap sepeda Surabaya ini sangatlah beralasan, sebagai alasan kesediaannya untuk menerima pinangan Pengkot ISSI Surabaya. Pasalnya saat ini tidak ada lagi atlet balap sepeda yang betul-betul memiliki bakat alam. Karena itu, Tarwi memiliki ambisi untuk menjadikan satu dari lima atlet puslatcab yang dipolesnya bisa mengganti senior-seniornya. Dia berharap dalam empat atau lima tahun kedepan, binannya bisa menggantikan ketangguhan Samai dkk. Maklum Surabaya telah kehilangan dua generasi sejak tahun 1996. Atau sejak dia menghilang dari jalan raya, tempat dia dibesarkan oleh balap sepeda.
“Obsesi saya adalah mengembalikan balap sepeda Surabaya kembali sebagai kiblat prestasi nasional, sehingga atlet yang dikirimkan ISSI Pusat untuk even-even internasional didominasi oleh atlet Surabaya,” katanya.
Selain menjadi pembalap, Tarwi berbakat menjadi pelatih. Predikat pelatih nasional pun sudah disandangnya sejak tahun 1975. Dia berhasil mengantarkan sejumlah anak didiknya meraih prestasi gemilang. Di antaranya, Tonton Susanto yang sukses menyabet dua emas di SEA Games 1997 Jakarta. Terakhir Tarwi mengarsiteki Custom Cycling Club Jakarta tahun 2004, saat ini home base-nya di Solo. Kala itu CCC terjun di arena Tour de Indonesia. Setelah itu, Tarwi tidak pernah terdengar namanya menukangi tim, pengkot/ pengkab ataupun pengprov diajang bergengsi.
Sedangkan dunia balap sepeda ditinggalkan Tarwi dalam status atlet pada tahun 1981. Saat itu usianya sudah memasuki 39 tahun. Dengan persiapan jenjang yang cukup matang, maka sejak tahun itu pula Tarwi langsung berganti status sebagai pelatih.
Generasi Emas
Dalam sejarah balap sepeda Indoesia, nama Tarwi tercatat sebagai salah satu atlet andalan di tahun 1960-an yang ayunan kakinya mampu menghasilkan prestasi bagi Negara Indonesia, Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya. Salah satu prestasi yang mengibarkan namanya bersama koleganya seperti Sapari dan Theo Gunawan ditorehkan dengan memboyong medali emas beregu dalam Games of New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1966 di Phnom Penh. Selain itu, dia juga berhasil mengoleksi sederet medali emas bagi Kontingen Jatim dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON).
Suksesnya sebagai atlet, diakui pria kelahiran Lamongan ini, karena bakat alam yang dimiliki. Bakat yang tertempa saat ia hidup sebagai wong ndeso. Ia sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat punya kebiasaan membantu orang tuanya mengolah sawah. Mencangul dan memikul padi telah menjadi jadwal rutin hariannya. Aktifitas itu tanpa disadar telah membentuk fisiknya seperti latihan seorang atlet.
Namun dia tak pernah sekali pun berkeinginan untuk terjun ke dunia balap sepeda. Menurut pemilik tangga lahir 17 September 1942 ini, keterlibatannya dalam dunia balap sepeda itu terjadi begitu saja bak aliran sebuah air sungai. Itu terjadi akibat hobinya berpacu sepeda setiap pulang sekolah. Ia selalu adu balap sepeda dengan teman-temannya selepas dari gerbang sekolah hingga masuk gang rumahnya di daerah Pegirian, Surabaya.
Kebiasaan “gila-gilaan” di jalanan dengan baju seragam itu, ternyata dilihat seorang teman sekolahnya di STM Sawahan (saat ini SMKN 2 Suabaya). Dengan berbagai rayuan, teman tersebut mengajaknya iku lomba balap sepeda. Tawaran itu selalu ditolak lantaran rasa tidak percaya dirinya. Namun pertahan hatinya itu akhirnya ambrol. Dengan biaya pendaftaran dari sang teman, mulailah pensiunan Dinas PU dan Cipta Karya Surabaya ini terlibat dalam dunia balap sepeda.
Penampilan pertamanya dalam lomba baap sepeda tingkat Surabaya itu terjadi tahun 1961. Predikat juara yang direbutnya pada usia 19 tahun itu, ternyata memotivasi dirinya untuk menggeluti cabor balap sepeda itu. Konsekwensi yang harus dialaminya jika ingin meningkatkan prestasi, maka dia harus mengganti Gazelle kesayangannya dengan sebuah sepeda balap.
“Mengganti Gazelle dengan sebuah sepeda balap pada saat itu sangatlah tidak mungkin terjadi, karena orang tua saya termasuk keluarga dengan strata ekonomi pas-pasan. Kalau pun ada harta simpanan, maka sifatnya sebagai persiapan untuk kebutuhan keluarga yang bersifat darurat,” ujarnya.
Obsesinya menjadi seorang pembalap sepeda itu, pada akhirnya kesampaian. Ibunya membelikan sebuah sepeda balap yang kurang memenuhi standar prestasi, tapi dia tak mungkin  menuntut lebih jauh. Pasalnya sepeda baru yang dibeli di Pasar Wonokromo itu terbeli, setelah ibunya menjual gelang simpanannya dengan harga Rp 25.
Berbekal sepeda balap jadul yang tidak memenuhi standar itu, maka Tarwi muda melanjutkan kiprahnya menggeluti dunia balap sepeda. Berpuluh lomba diterjuni dan berderet prestasi un berhasil dikoleksinya. Semangat Tarwi dalam menekuni balap sepeda, ternyata menarik hati Moh.Nadri –pembina klub Surabaya- dan menariknya untuk bergabung. Sejak saat itu Tarwi pun menjadi atlet binaan klub Surabaya yang paling diandalkan untuk mendulang medali.

0 komentar:

Posting Komentar