Selasa, 20 Oktober 2009

Kabinet Baru Cerminkan Politik Balas Budi



TRIBUN, Jakarta - Praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis menyatakan dirinya bersikap skeptis menanggapi susunan kabinet yang disusun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terutama terkait tim hukum dan perekonomian, yang dinilainya masih mencerminkan praktik bagi-bagi kekuasaan dan politik balas budi.

Penilaian tersebut disampaikan Todung, Selasa (20/10), usai berbicara dalam diskusi bertema DPR Baru, Tanpa Oposisi Kuat: Bagaimana Nasib RUU Anti Demokratis? yang digelar Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET). Turut hadir berbicara, mantan anggota Komisi I dari Fraksi PDIP Andreas Pareira, Agus Sudibyo (Yayasan SET), dan jurnalis senior Media Indonesia Saur Hutabarat.

Namun begitu Todung meminta masyarakat memberi waktu kabinet pemerintahan baru bekerja terlebih dahulu. Padahal yang justru sekarang diperlukan adalah kesaling terkaitan antara tim hukum dan ekonomi di dalam pemerintahan mendatang.

"Saya melihat kondisinya masih timpang. Antara keduanya masih belum bisa saling menunjang satu sama lain, ujar Todung.

Todung mencontohkan, saat ini sudah muncul sejumlah kekhawatiran dan kebingungan dari banyak kalangan pengusaha asing terutama terkait penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Menurut Todung, UU itu mewajibkan setiap kontrak kerjasama, bahkan dengan perusahaan asing, menggunakan Bahasa Indonesia. Kondisi itu menurutnya menunjukkan ada yang salah dalam proses legislasi penyusunan aturan perundang-undangan selama ini. Akibatnya, aturan hukum yang ada tidak sinkron apalagi bisa diharapkan mendukung upaya peningkatan ekonomi nasional dalam bentuk menarik para investor asing untuk masuk ke Indonesia. Padahal bisa dipastikan 95 persen kontrak dan transaksi bisnis, baik lewat surat elektronik atau bentuk lain, disusun dalam bahasa Inggris. "Apa kalau tetap dibuat dalam bentuk bahasa Inggris lantas mau digugat?" tanya Todung.

Menurut Todung, ketidaksinkronan aturan macam itu sangat menyulitkan. Tambah lagi jika ternyata ke depan tim hukum dan ekonomi dalam kabinet sama sekali tidak punya perspektif apalagi mampu bersinergi satu sama lain. Kondisi macam itu bisa sangat membahayakan iklim usaha yang menunjang sehingga justru akan mempersulit arus penanaman modal asing ke Indonesia.

Selain memperhatikan sinkronisasi kebijakan hukum dan perekonomian, Todung juga mengingatkan pemerintah jangan sampai melupakan keberadaan para kelompok marjinal, perempuan, dan anak-anak. Dengan begitu jangan sampai terjadi, penguasa hanya mementingkan masalah bagi-bagi kekuasaan dan kursi, yang berdampak buruk melupakan masukan dari masyarakat. (kom/vd)

0 komentar:

Posting Komentar