Selasa, 03 November 2009

BRI Gedangan Hilangkan Agunan Sertifikat Nasabah

oleh Prima Sp Vardhana



MENDAPAT kredit dari lembaga perbankan dengan agunan dokumen penting, ternyata tidak memiliki jaminan keamanan dan kenyamanan. Peluang hilangnya agunan tersebut sangat besar terjadi, bahkan pemilik agunan dipastikan akan kesulitan ntuk mengajukan pertanggungjawaban lembaga perbankan terkait. Pasalnya beragam persyaratan yang sulit dipenuhi penerima kredit akan diajukan lembaga perbankan tersebut, sehingga kasus hilangnya agunan kredit tersebut tidak dapat dibongkar dan dibuktikan secara hukum.
Nasib pahit itulah yang menimpa Ny. Yati Misno. Warga Sawotratap RT II/RW 10 ini gagal untk mendapakan kembali sertifikat tanah seluas 160m2 atas nama ibunya, Ny. Marinem (almarhum) yang dijadikan agunan kredit di BRI Cabang Gedangan, Sidoarjo, meski pinjaman kredit sebesar Rp 2 juta sudah dilunasi.
Wanita sederhana yang buta hukum ini tidak dapat menarik lagi sertifikat tanahnya yang bernilai sekitar Rp 80 juta itu, karena petugas BRI Gedangan itu dengan entengnya mengatakan, bahwa sertifikat milik Ny. Yati Misno hilang. Sehingga sertifikat tidak bisa diberikan, meski pinjaman kredit yang dit  erianya sudah dilunasi.
Kulo niki mboten ngerti hukum, tapi BRI engkang negeri meniko kok tego mbodohi kulo (red., saya ini tidak mengerti hukum, tap mengapa BRI yang berstats negeri tega-teganya menpu saya),” keluh Ny. Yati Misno saat ditemui Tribun Indonesia di rumahnya.
Ironis lagi, meski secara hukum melakukan pelanggaran UU Perbankan dengan menghilangkan agunan nasabah penerima kredit. Sikap yang ditunjukan BRI Gedangan justru tidak kooperatif dan berkesan mempersulit Ny. Yati sebagai persyaratan melihat dan mendapatkan foto kopi surat laporan kehilangan sertifika tanah yang dimiliki BRI Gedangan. Salah satu persyaratan yang berkesn mengada-ada untuk lepas dari tanggung jawab hukum atas kelalaian yang berakibat hilangnya agunan nasabah itu, Ny. Yati diwajibkan untuk menunjukkan dokumen hukum sebaga keluarga atau penerima hak waris Ny Marinem dan suaminya yang namanya tersurat dalam sertifikat.
Bukti KSK (Kartu Susunan Keluarga) yang ditunjukkan Ny. Yati sebagai awal untuk mendapatkan copy surat laporan hilangnya setifikat miliknya saat diagunankan pada BRI Gedangan, ternyata dengan serta merta ditolak petugas lembaga perbankan negara tersebut. Menurut petugas BRI yang ditemui, KSK yang dibawah Ny. Yati tidak bisa dijadikan bukti hukum yang sah dengan berbagai alasan. Ny. Yati diminta membawa Ny. Marinem ke kantor BRI Gedangan, meski hanya untuk mendapakan copy surat laporan kehilangan tersebut.
Saat diberitahu Ny. Yati, bahwa ibunya, Ny. Marinem sudah meninggal akibat serangat diabetes melitus yang tidak dapat disembuhkan dengan dana pinjaman kredit dari BRI Gedanga dengan agunan sertifikat tersebut, ternyata petugas tersebut dengan entengnya meminta Ny. Yati untuk membawa dua surat keterangan kematian dari kelurahan atas nama Ny Marinem dan suaminya yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut.
Korban Pemerasan



Bak pepatah lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya, Ny. Yati pun kembali dipersulit oleh pejabat Kelurahan Sawotratap. Untuk mendapatkan 2 surat keterangan kematian atas nama Ny. Marinem dan suaminya, Ny. Yati diwajibkan pejabat kelurahan untu membayar Rp 2 juta. Tentu saja permintaan biaya penebitan surat kematian warga yang harsnya cuma-Cuma itu, tidak dapa dipenuhi Ny. Yati. Salah satunya lantaran kondisi pereknomian keluarga Ny Yati yang jauh dibawah standar hidup penduduk Sidoarjo.
Kulo boten nyongko lek petugas kelurahan Sawotratap niku sami kejeme kale peugas BRI. Piyambakipn sumerap menawi kulo niki wong mlarat, kok tego nyuwun biaya kale juta damel surat kematian bapak lan ibu (red., Saya tidak menduga jika petugas keluaan Swotratap sama kejamnya dengan petugas BRI. Mereka sudah tahu jika saya ini berekonomi lemah, tapi mereka tega meminta biaya dua juta rupiah untuk menerbitkan surat kematian aya dan ibu),” kata wanita berkuit sawo matang ini dengan air mata menetes.
Penderitaan yang dialami Ny. Yati ini saat dikonfirmasi pada pakar Hukum Kriminal Universitas Airlangga (Unair) Surabaya I Wayan Titip Sulaksana SH. MS., dengan suara gemas mengatakan, sikap yang dilakukan BRI Cabang Gedangan itu telah memenuhi bukti sebagai perilaku pelanggaran hukum. Melanggar UU Perbankan dan KUHP, sehingga secara teknik sudah memenuhi syarat untuk dilakukan gugatan hukum pidana dan perbankan.
“Menghilangkan agunan nasabah penerima kredit merpakan sikap sembrono yang melangga UU Perbankan. Paling sederhana jika dilapokan pada Bank Indonesia, para pejabat BRI Gedangan akan kena sanksi adminstratif. Mereka dipindahkan dan kepangkatannya kepegawaiannya berpeluang diturunkan,” ujarnya.
Sedangan jika dilakukan gugatan hukum pidana berdasar KUHP, dikaakan, para pejabat BRI Gedangan yang terkait dalam proses hilangnya sertifikat Ny. Yati itu harus mempertanggungjawabkan dengan masuk penjara. Selain itu, status pegawai negerinya akan dipecat secara tidak hormat.
Demikian pula sikap yang dilakukan pejabat keluahan Sawotratap yang meminta biaya Rp 2 juta untuk menerbitkan 2 surat kematian orang tua Ny. Yati. Menurut  kepala Kantor Unit Konsultasi Penyuluhan dan Bantuan Hukum (UKPBH) Universitas Airlangga ini, pejaba kelurahan Sawotratap mulai sekretaris desa hingga pejabat lurahnya dapat diseret dngan pasal pemerasan, penyalahgunaan wewenang dan korupsip terkait dengan permntaan biaya atas surat kematian yang seharusnya diterbitkn dengan cuma-cuma. (vd)

0 komentar:

Posting Komentar