Kamis, 20 Agustus 2009

TNI-Polri Masih Ego Sektorl


DESAKAN TNI Angkatan Darat agar pemerintah tidak menyia-nyiakan kemampuan mereka dan lebih melibatkan militer secara aktif dalam perburuan terorisme diyakini terjadi lantaran masih adanya ego sektoral di antara aparat pertahanan dan keamanan di Tanah Air.

Penilaian itu dilontarkan dosen Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Kastorius Sinaga, Rabu (19/8). ”Ada kesan kuat TNI memang ingin meminta kewenangan lebih dari sekadar membantu Kepolisian Negara RI dalam menangani isu-isu terorisme,” katanya.

Namun, persoalannya, keberadaan dan peran TNI membantu Polri dalam kasus terorisme sudah sesuai dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bantuan hanya bisa diberikan TNI atas permintaan kepolisian.

”Saya kira masalah utamanya bukan di kepolisian, tetapi di peran teritorial TNI yang sejak pascareformasi memang menjadi seolah ’menganggur’ akibat ketidakjelasan arah reformasi TNI sendiri,” ujar Kastorius.

Dengan begitu, tambah Kastorius, kondisi idle yang sekarang dialami TNI, termasuk jika hal itu dikaitkan dengan penanganan terorisme, sebenarnya terjadi akibat permasalahan internal di tubuh militer. Hal itu tidak ada kaitan dengan kemampuan Polri dalam menangani terorisme.

Sementara dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Edy Prasetyono, menyatakan, kebijakan menyerahkan bentuk dan pola kerja sama TNI-Polri di level komandan di lapangan dapat berisiko memicu persoalan baru.

Asumsinya, pemerintah dan masyarakat tidak pernah tahu pasti bagaimana kondisi dan hubungan yang terjadi di lapangan di antara para komandan dari kedua institusi tadi.

”Perlu diingat, keterlibatan militer dalam penanganan terorisme di negara mana pun ada. Cuma perlu kejelian dari pemerintah untuk menentukan kapan TNI berperan lebih dan kapan posisinya sebatas membantu Polri,” ujar Edy.

Pesantren

Sementara itu, secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi menyatakan, tidak ada pesantren yang memiliki kurikulum dan mengajarkan kekerasan. Jika ada warga ataupun alumni pesantren terlibat terorisme, hal itu terjadi karena dalam kehidupan pribadi pelakunya dipengaruhi oleh jaringan teror, baik nasional maupun internasional.

”Banyak juga lulusan pesantren yang menjadi polisi yang menangkap pelaku teror. Terorisme tidak bisa diidentikkan dengan pesantren,” kata Hasyim.

Tanpa disadari pengurus pesantren, lembaga pendidikan keagamaan itu bisa disusupi jaringan teror secara terselubung.

”Pesantren sebenarnya dapat diajak proaktif menangkal terorisme. Namun, organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, maupun pesantren tidak pernah dilibatkan dalam pencegahan terorisme,” tambahnya.

0 komentar:

Posting Komentar