Minggu, 13 Desember 2009

Mengenang Orang Hilang

Mendesak, Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc

SURABAYA, TRIBUN -Daftar orang hilang sebagai korban politik di Indonesia jumlahnya pastilah melebihi di atas angka seribu. Jumlah terbanyak dicatat paa aktivis berlangsung sepanjang era pemerintahan rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto.

Pada Minggu (13/12), sedikitnya 30 aktivis dan keluarga aktivis yang hilang pada masa Orde Baru menggelar aksi di depan Gedung Grahadi, Surabaya. Mereka menuntut pemerintah mengungkap kasus penghilangan para aktivis pada masa reformasi.

Sampai saat ini belum ada kejelasan terhadap kasus penculikan 13 aktivis pada era kepemimpinan Soeharto, 11 tahun silam. Selama kurun waktu tersebut, tidak ada pertanggungjawaban dari pemerintah. Dua di antaranya aktivis mahasiswa asal Jatim, Herman Hendrawan dan Bimo Petrus, yang hingga kini belum diketahui nasibnya.

Aksi yang berlangsung sekitar dua jam itu memanfaatkan momentum peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM), 10 Desember. Selain berorasi, mereka mengenang orang hilang dengan menabur bunga di atas lembaran kain merah.

"Kalau memang mau HAM ditegakkan, pengadilan HAM Ad Hoc harus dibentuk," kata Heru, koordinator lapangan dalam aksi yang digelar Keluarga Besar Rakyat Demokratik di Surabaya, Minggu (13/12).

Rapat paripurna DPR 2004-2009 yang membahas rekomendasi Pansus Orang Hilang mengeluarkan empat keputusan pada 28 September 2009. Keputusan saat itu memberi rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc, mencari 13 orang yang oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM masih dinyatakan hilang, memberi kompensasi dan merehabilitasi keluarga korban, serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Keputusan dari rapat paripurna itu memandatkan Presiden untuk mengupayakan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc, sesuai dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dalam kaitan tersebut, DPR memegang peran untuk melakukan pengawasan serta memastikan bahwa keputusan tersebut dijalankan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah yang dimaksud adalah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Kebijakan Presiden tersebut nantinya harus mampu menjawab kebuntuan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi. Peraturan ini sama sekali tidak operasional dan belum mengakomodir keluarga korban.

"Masalahnya keputusan paripurna DPR tidak memberi batas waktu penerbitan keppres, berarti perkembangannya hanya bergantung pada presiden," ujar Toga Sidauruk, seorang peserta aksi.

Masih terjadi

Pasca penculikan para aktivis, di antaranya Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Widji Thukul, Suyat, Yani Afri, dan Yadin Muhidin, pelanggaran HAM masih terjadi. Termasuk di antaranya kasus pembunuhan Munir.

Oleh karena itu, pemerintah juga didesak untuk konsisten dengan komitmennya dalam menegakkan hukum dan HAM. Salah satunya dengan mengungkap kasus pelanggaran HAM antara lain kasus pembelakuan daerah operasi militer di Aceh, kasus Semanggi, dan penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti.

"Pemerintahan sekarang diuji komitmennya, apakah mampu menyelesaikan persoalan yang sudah terombang-ambing lebih dari sepuluh tahun dan di bawah kepemimpinan orang yang berbeda-beda," ujar peserta aksi lain, Purwadi. (Kps,nic/vd)

0 komentar:

Posting Komentar