Selasa, 28 April 2009

Tembakau dan 1 Miliar Nyawa


KONFERENSI Dunia untuk Tembakau atau Kesehatan (WCTOH) Ke-14 tetap berlangsung di Mumbai, India, tanggal 8-12 Maret, walaupun kota itu sempat terguncang serangan teroris selama dua hari sejak 26 November 2008. Dihadiri lebih dari 2.000 peserta dari seratusan negara, konferensi ini menjadi penting karena ”wabah” konsumsi tembakau, khususnya rokok, kian agresif menyerbu negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

Menteri Kesehatan India Dr Anbumani Ramadoss dalam sambutannya ketika membuka konferensi menyatakan, penduduk India, China, dan Indonesia yang mencakup sepertiga populasi dunia kini menjadi target pemasaran industri rokok multinasional. ”Industri rokok mulai mencopoti infrastrukturnya dari negara-negara maju dan memasangnya di negara-negara sedang berkembang. Ini tak bisa dibiarkan,” katanya.

Dr Ramadoss dikenal sebagai tokoh yang gigih dalam pengendalian konsumsi tembakau dan rokok di India, yang berani mengambil risiko tidak populer dan dimusuhi industri rokok serta petani tembakau karena ia sejak Oktober tahun lalu melarang rokok diiklankan dan dipromosikan di media massa, media luar ruang, maupun jadi sponsor event olahraga dan pergelaran musik. Mulai 31 Mei 2009, ia bakal mewajibkan agar semua kemasan rokok memasang peringatan dengan gambar bahaya rokok bagi kesehatan. Dan, kini, ia sedang berusaha keras pula untuk melarang adegan merokok dalam film-film India.

Andaikan sikap seperti itu dimiliki juga oleh menteri kesehatan semasa pemerintahan Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sebentar lagi berakhir, puluhan juta nyawa rakyat Indonesia akan dapat selamat dan puluhan triliun rupiah devisa dapat dihemat.

Sayang kewajiban negara melindungi rakyatnya dikompromikan oleh dalih bisnis. Indonesia, di forum seperti WCTOH Ke-14 di Mumbai, menjadi satu-satunya negara di Benua Asia yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka untuk Pengendalian Tembakau (FCTC), yang diadopsi Majelis Kesehatan Dunia (WHA), Mei 2003.

Hingga Februari lalu, sudah 161 dari 193 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meratifikasi FCTC, sebuah traktat hukum internasional yang mengikat. Walaupun secara federal Amerika Serikat belum meratifikasi FCTC, sejumlah negara bagian sudah amat membatasi promosi rokok dan kebebasan merokok di tempat kerja/umum.

Dr Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO, dalam pesan videonya menyatakan, jika dunia tidak mengendalikan tembakau/rokok, selama satu abad ini sedikitnya 1 miliar penduduk dunia akan mati sia-sia. Ini merupakan peningkatan 10 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian akibat rokok pada abad ke-20!

”Tahun ini saja 5 miliar orang akan mati karena rokok. Merokok adalah pembunuh nomor satu di dunia. Korbannya melampaui gabungan orang yang meninggal karena AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Merokok membunuh begitu banyak orang karena terjadi secara perlahan-lahan, karena kurangnya perhatian dan kurangnya komitmen politik, karena keserakahan industri rokok, serta karena pengaruh iklan,” kata Dr Matt Myers, Direktur Campaign for Tobacco-Free Kids, sebuah LSM AS yang didukung lembaga filantrofi Michael R Bloomberg, Wali Kota New York, kepada para wartawan mancanegara di Mumbai.

Myers mengingatkan, masyarakat dan media massa perlu jeli meneliti motif corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan rokok, apakah untuk mengurangi dampak merokok atau untuk melunakkan pemerintah, dan memperbaiki citranya.

Bukan filantrofi

Hal senada diungkapkan Dr Mary Assunta Kolandai, Direktur Proyek Pengendalian Tembakau Internasional Dewan Kanker Australia. Ia menyebutkan, sejak sebuah perusahaan rokok kretek Indonesia tahun 2005 dibeli perusahaan rokok AS, promosinya yang agresif kini diikuti perusahaan-perusahaan rokok kretek papan atas lain. Bekas pemilik perusahaan rokok kretek itu mengabadikan namanya untuk sebuah yayasan filantrofi, termasuk memberikan penghargaan jurnalistik kepada para wartawan. ”Kegiatan yayasan itu jelas bukan filantrofi karena dananya diperoleh dari keuntungan menjual rokok. Selain itu, nama yayasan itu tetap identik dengan merek rokok. Tahukah Anda bahwa merokok itu membunuh separuh dari penggunanya?” katanya.

Kolandai yang sejak 1983 hingga 1991 giat berkampanye antirokok di Malaysia menyatakan, akibat Pemerintah Indonesia yang konformis terhadap lobi industri rokok, pengendalian rokok di Indonesia tertinggal dari Malaysia dan Thailand selama 20 tahun. Selama dua dekade terakhir, perusahaan rokok Amerika dan multinasional berusaha menembus monopoli dan dominasi perusahaan rokok nasional di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, dan terakhir Indonesia.

”Ketika Pemerintah Thailand dituntut AS ke WTO tahun 1989, dua tahun kemudian pemerintah dan parlemen Thailand meloloskan legislasi pembatasan pemasaran dan iklan rokok. Alasannya, untuk melindungi jutaan nyawa warganya. Mengapa hal yang sama tidak dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan jutaan warganya?” ujar Kolandai sambil menyebut, lebih dari 60 persen pria dewasa Indonesia merokok.

Ia mengingatkan, hendaknya Pemerintah Indonesia tidak silau dengan triliunan rupiah cukai dan pajak yang disetorkan oleh perusahaan rokok karena sesungguhnya mereka cuma kolektor cukai. Pembayar pajaknya tetap rakyat. Pemiliknya menjadi orang-orang terkaya, sementara nasib petani tembakau tetap tak beranjak. (kom)

0 komentar:

Posting Komentar