Jumat, 19 Juni 2009

Rambak Bangsal Produk Unggulan di Tingkat Nasional



oleh Fakih Ahmad  

Berkunjung ke Kabupaten Mojokerto jika tidak membawa ole-ole rambak Bangsal, banyak wisatawan lokal menilai belum afdol. Kekuatan pencitraan itu membuat rambak Bangsal sangat populer di tingkat nasional, bahka krupuk berbahan kulit sapi ini telah dicitrakan sebagai salah satu icon industri Kab. Mojokerto. 

SEKITAR 4 kilometer dari Mojokerto ke arah timur menuju Malang, terlihat jajaran pedagang krupuk rambak menawarkan dagangannya di kios-kios pinggir jalan. Mereka bertumpahan di kiri-kanan jalan sepanjang sekitar 1km. Sesekali terlihat salah satu kios dikunjungi pembeli. Mulai dari yang mengendari sepeda motor hingga bis wisata.

Krupuk rambak yang dibeli tidak hanya rambak goreng yang telah dikemas dalam plastik seharga Rp 10.000 hingga Rp 30.000. Namun, juga yang mentah (krecek) terlihat diborong.
”Sudah lima tahun lebih saya menggantikan orang tua jualan rambak dan krecek di sini. Hasilnya lumayan. Dapat digunakan untuk membiayai kuliah anak-anak,” kata Rahmat sembari melayani pembelinya.

Rambak dan krecek yang dijual di kiosnya, diakui bapak tiga orang anak ini, dikulak dari pengrajin di Kauman-Bangsal. Letak kedua tempat pengrajin tak jauh dari kios dagangannya. Untuk kulakan cukup diangkut dengan motornya.

Pengrajin rambak yang menjadi langganannya, menurut ia, hampir semua pengrajin yang ada di Kauman – Bangsal. Kebiasan yang dianut tidak beda yang dilakukan rekan pedagang lainnya. Ini terjadi lantaran jadwal kulakan masing-masing pedagang nyaris tidak sama dengan keberadaan rambak atau krecek, yang ditawarkan pengrajin langganan.

”Jika kami fanatik kulakan pada satu atau beberapa pengrajin saja, pasti saya akan mengalami kerepotan. Pasalnya keberadaan rambak dan krecek seorang pengrajin waktunya tidak pasti, sehingga harus kulakan ke pengrajin agar kios saya tidak kosong,” ujarnya.

Saat mengunjung Desa Kauman, terlihat sebuah pemandangan ada di kiri kanan jalan. Sepanjang mata memanjang jalan desa, tampak tebaran terpal penjemuran krecek. Sehingga jalan yang tersisa hanya cukup dilalui sebuah sedan. Ini karena 50% warga Bangsal merupakan pengrajin, jasa pengeringan, penggorengan dan distributor rambak serta krecek. 

Proses Pencucian
Salah satu pengrajin yang populer diantara sesamanya adalah H. Khomsun (44th). Bagaimana tidak, hanya kurun 7 tahun menekuni profesi pengrajin krecek, mantan penjual balon keliling ini sudah mampu mengubah tingkat ekonomi keluarganya, naik haji sekeluarga, membeli mobil, dan membeli gudang untuk mengembangkan bisnisnya yang harganya ratusan juta rupiah.

”Ilmu membuat krecek ini, saya dapatkan dari teman-teman pengusaha dan H. Jainul kakak kandung saya,” kata pria yang merintis bisnisnya dengan modal Rp 9 juta hasil penjualan sepeda motor.

Dalam menekuni bisnisnya, dibantu 11 karyawan. Mulai dari proses pencucian hingga pemotongan. Omset penjualan kini mencapai 5 kwintal per minggunya. Bahkan melonjak 10 ton sepanjang bulan Romadhon.

“Produk saya tersebar di beberapa kota di Jatim, seperti Malang, Pasuruan, Surabaya. Bahkan Ambon, Kalimantan dan Papua juga kami layani,” kata pemilik Farid Jaya, yang namanya diambil dari anak pertamanya.

Nasib usahanya, ternyata sejaya nama produknya. Betapa tidak. Saat beberapa bulan lalu berembus isu negatif, bahwa krecek atau rambak ada yang berbahan limbah jaket atau sepatu kulit, ternyata bisnisnya tak goyah. Angka penjualan tetap stabil.

”Jika ada yang menyebut bahan rambak adalah limbah. Pendapat itu tidak salah, tapi limbah yang mana. Bahan krecek adalah irisan kulit sapi bagian dalam, sementara kulit bagian luarnya untuk jaket atau sepatu,” ujarnya.

Harapannya pendapat tentang limbah kulit itu tidak diplesetkan. Menurut ia, kulit yang digunakan sebagai bahan selama menekuni bisnisnya, adalah lapisan kulit yang dibeli di pabrik pengolahan kulit di Sidoarjo, Krian, dan Malang. Kondisi kulit saat dibeli juga masih mentah. Bukan kulit samakan sisa produk bahan jaket dan kulit.

Kendati demikian, kulit yang dibelinya tidak langsung diiris-iris. Namun melalui beberapa proses pencucian yang berulang, dan direndam dalam air gamping selama 40 jam. ”Proses pencucian dan perendaman air gamping untuk menghilangkan bakteri atau zat-zat beracun yang menempel, sehingga steril dan higines,” katanya. (tribunonline@gmail.com)

0 komentar:

Posting Komentar