Jumat, 19 Juni 2009

Batik Tulis Mojokerto Berdendang di Tingkat Nasional


oleh: Fakih Ahmad, Prima Sp Vardhana

Merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia yang sudah populer di tingkat internasional. Namun, selama ini yang terkenal hanyalah batik-batif yang bercirikan Yogya dan Solo, seperti kawung, parang, gondosuli, ceplok dan lainnya. Padahal Kota Mojokerto memiliki sebuah batik khas, yang memiliki sejarah lebih tua dibanding batik Jawa Tengahaan itu. Mengapa demikian.


Ini karena batik Mojokerto merupakan sebuah budaya kerajinan batik yang sejarahnya berkembang dengan masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Keunikan batik Mojokerto adalah pada nama-nama coraknya yang sangat asing dan aneh di telinga sebagian orang. Misalnya gedeg rubuh, matahari, mrico bolong, pring sedapur, grinsing, atau surya majapait.

Pengrajin batik tulis yang berhasil mempopulerkan Batik Mojokerto di tingkat nasional adalah Hindun (42), di Dusun Keboan Desa Gunung Gedangan Kec. Magersari Kota Mojokerto. Di rumahnya dapat ditemukan ratusan batik-batik itu, dengan warna yang sejuk dan mencerminkan kejayaan Majapahit.

Motif batik Mojokerto yang kini mulai dilirik pasar nasional dan dunia itu, menurut ia, merupakan desainnya dari hasil perenungannya. Dan, semua motif batik temuannya itu kini dikenal sebagai motif batik khas Kota Mojokerto. 

Desain batik itu, diakui, mengambil corak alam sekitar kehidupan manusia. Misalnya motif pring sedapur merupakan gambar rumpun bambu dengan daun-daun menjuntai. Ada burung merak bertengger. Warna dasarnya putih dengan batang bambu warna biru. Sedangkan daunnya warna biru dan hitam.

Demikian pula motif gedeg rubuh, coraknya mirip seperti anyaman bambu yang miring. Kalau mrico bolong, motifnya berupa bulatan merica berlubang.

Usaha batik tulisnya itu dimulai Hindun pada 1996. Semula semuanya ditangani sendiri mulai dari mendesain, meramu bahan pewarna, membatik, sampai memasarkan hasilnya. Namun perjalanan waktu menunjukkan usahanya mengalami perkembangan. Awalnya dia mampu membuat tiga lembar sebulan. Kini bisa mencapai puluhan lembar setelah mempekerjakan karyawan. 

Perubahan itu terjadi pada tahun 2000. Setelah tahun itu, usahanya mulai dikenal masyarakat dan omzet pesanan terus mengalir. Resikonya dia harus sesekali kerja lembur untuk memuaskan pembeli. Kendati demikian, dia belum mampu memenuhi semua pesanan pelanggan, sehingga harus merekrut pekerja dari tetangganya. Para pekerja itu hanya bisa membatik dan tak mahir mendesain, meramu obat batik serta tak bisa memasarkan hasil kerajinannya.

Pengalaman berbeda diutarakan pengrajin batik tulis Ernawati. Pengusaha sepatu di Surodinawan, Prajurit kulon ini, mulai belajar menjadi seorang pengrajin batik tulis saat masih duduk di kelas 4 SD. Dia mengawali keseriusannya dalam dunia batik sejak tahun 1994.

”Waktu itu, penjualannya hanya sebatas pada teman. Tapi sering kali mereka ikut membantu memasarkan pada kenalan masing-masing,” kata istri dari M. Zainudin yang juga sebagai pengusaha sepatu.

Setelah ijin produksi usahanya sebagai pengrajin batik tulis turun pada tahun 2001, maka dia pun lebih keras dalam memasarkan dan mengenalkan batik tulis khas Mojokerto itu pada masyarakat. Untuk menumbuhkan rasa cinta masyarakat, ia lakukan dengan bergabung pada perkumpulan-perkumpulan wanita yang ada di Mojokerto. Misalnya Paguyuban Pemberdayaan Perempuan Pengembangan Ekonomi Lokal (P3EL) dan Keluarga Informasi Masyarakat Kota. Selain itu, ia juga mengembangkan di SD di Surodinawan dengan status guru khusus kerajinan batik tulis.

Sedangkan motif batik yang dikembangkan Ernawati mencapai lebih dari 30 macam. Tapi produk miliknya ada 6 motif dan sudah di hak ciptakan dari Disperindag, seperti mrico bolong, rawan inggek, sesek grenseng, matahari, koro renteng, dan rengsedapur. “Kebetulan waktu itu memang ada kolektif, dan yang saya daftarkan itu merupakan motif yang paling diminati,” ujarnya.

Menurut ia, enam motif batik tulisnya memiliki daya tarik masing-masing, bahkan motif matahari pernah di pamerkan ke Australia 2007 lalu. Dengan ukuran tiga kali lipat besar kain yang biasanya dipakai.

Untuk harga, batik tulis Hindun dan Ernawati nyaris sama. Batik sebesar taplak ditawarkan Rp 37.500. Sedangkan batik yang berbahan katun berkisar Rp 125 ribu hingga Rp 1,4 juta. Harganya melambung jadi Rp 300 ribu sampai Rp 2 juta jika berbahan sutra. 

Pasar yang kini telah diraih tidak terbatas di wilayah Mojokerto. Namun sudah merambah ke Malang, Surabaya, betawi, Jakarta, Medan hingga Banjarmasin. Selain itu, Disperindag Kab. Mojokerto juga memberi dukungan pemasaran sampai ke Palembang dan pameran-pameran tingkat nasional. (tribunonline@gmail.com)

0 komentar:

Posting Komentar