Selasa, 11 Mei 2010

Pungli Imigrasi Surabaya Dilegalkan Para Pejabatnya

PUNGLI di IMIGRASI PINTU MASUK TERORIS KE INDONESIA (Seri - 3)
 
INSTANSI Imigrasi dan pungutan liar (Pungli) bak dua keping mata uang. Tak bisa dipisahkan dan selalu menempel kemana pun pemilik kepingan mata uang itu berada.
Karena itu, siapa pun pejabat Jaksa Agungnya, pejabat Kapolrimua, Menteri Hukum, atau nama jabatan birokratis lainnya yang bertanggung jawab atas penegakan hukum dan wibawa negara, banyak diragukan kemampuannya untuk melakukan pembersihan atas kemarakan pungli dan suap di Kantor-kantor Imigrasi yang bertebaran di Indonesia.
Bagaimana tidak. Ini terlihat dari sikap Menkumham Patrialis Akbar yang seakan tutup mata atas kegiatan pungli dan suap keimigrasian di kota Semarang, Aceh, Medan, Bandung, Jakarta, dan Surabaya, yang disuguhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam bentuk cuplikan demi cuplikan rekaman video amatir. Khusus di Jakarta pengambilan gambar dilakukan di gedung Kementrian Hukum dan HAM (Kemkumham).
Dalam rekaman berseting gedung Kemkumham terlihat sesosok pria berbaju batik tengah bertransasksi dengan pria lainnya di kantin kantor keimigrasian Kemkumham. Setelah pria berbaju batik itu memberikan lembaran rupiah warna merah dan biru, adegan berpindah dengan memperlihatkan tempat-tempat transaksi pungli. Selain kantin adapula yang di dapur dan tempat parkir.
            Tak pelak lagi, rekaman berdurasi sekitar dua-tiga menit tersebut membuat terpanah pengunjung yang ada di ruang pengayoman Kemkumham, 9 Februari lalu. Tak terkecuali Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar beserta para pejabat eselon I Kemkumham. Mereka harus menerima kenyataan banyaknya keboborokan moral yang terjadi di dalam dapur sendiri, yakni di Gedung Direktorat Iimigrasi.
            Ironisnya, para personil Kantor Imigrasi yang terekam kamera itu oleh Patrialis Akbar, hanya diganjar tindakan adminstratif. Pertimbangannya tindakan tersebut akan menimbulkan efek jera dan para penyeleweng wewenang jabatan itu sadar dan menjadi baik.
 Sanksi administratif itu, menurut Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, tidak akan memberikan efek jera. Sebab sanksi tersebut tidak akan mampu mengubah prilaku koruptif yang telah menjadi fenomena gunung es tersebut.
"Kasus suap dan pungli yang terjadi di Imigrasi kesimpulannya cukup tiga, yaitu pengawasan yang lemah, pembiaran, atau keikutsertaan pejabat tingkat atas. Karena itu, takkan cukup dengan sanksi administratif. Apalagi tidak mengacuhkan unsur pidana di dalamnya, itu jelas salah dan tak bertentangan dengan UU Pemberantasan Korupsi," katanya.
Keraguan Emerson terhadap sanksi administratif mampu membuat para petugas imigrasi merasa jera untuk melakukan praktik suap dan pungli, terbukti pada tanggal 28 April. Dua petugas Imigrasi Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Lukman dan Heri Pranowo, dibekuk Direktorat narkoba (Ditnarkoba) Polda Metro Jaya dan Bea Cukai. Keduanya terbukti terlibat dalam penyelundupan bahan baku sabu-sabu berupa ketamine seberat 15,3 kilogram dengan nilai Rp 15 Miliar.
Kenakalan para petugas Imigrasi yang terekam kamera KPK tersebut, ternyata hingga saat ini juga tetap berlangsung di kantor-kantor imigrasi yang ada di Jawa Timur, seperti  di Kantor Imigrasi Klas I Khusus Surabaya-Waru, Kantor Imigrasi Klas I Tanjung Perak, Kantor Imigrasi Klas II Malang, Kantor Imigrasi Klas II Jember, Kantor Imigrasi Klas II Blitar, dan Kantor Imigrasi Klas II Madiun. Sistem pemungutan pungli yang terjadi di kantor-kantor imigrasi itu sangat beragam.
Namun dari enam kantor imigrasi di Jawa Timur itu yang patut disayangkan adalah kemarakan pungli di Kantor Imigrasi Klas I Khusus Surabaya-Waru. Ini karena kemarakan tersebut sangat bertolak belakang dengan penghargaan ISO 9000. Sebab penghargaan untuk sistem pelayanan terbaik itu, ternyata harus dinodai oleh kemarakan pungli yang seakan dilegalkan oleh para pejabatnya.
Diantara enam kantor imigrasi di Jawa Timur, pelanggaran hukum dan wewenang di Kantor Imigrasi Klas 1 Khusus Surabaya menempati peringakat pertama. Barometernya pada nilai rupiah hasil pungli yang dikumpulkan setiap bulan, juga dampaknya terhadap citra dan keamanan nasional.
Pelanggaran hukum dan wewenang yang berlangsung di kantor imigrasi di Jl. S. Parman No. 58A Waru, Sidoarjo, itu sangat beragam. Pelanggaran paling menonjol adalah pelanggaran terkait penerbitan paspor yang bernuansa korupsi, sebagaimana UU No. 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bab I Pasal 1 ayat 2.5, Bab II Pasal 3, juga Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 220, pasal 231, pasal 241, pasal 422, pasal 429, atau pasal 430.
Data ini berdasar email yang diterima TRIBUN GROUP MEDIA dan SWARA MEDIA GROUP, dari pengirim yang mengatasnamakan tim delapan intelejen Kejaksaan, beberapa hari lalu.
Dalam email tersebut, tim delapan mengakui, kabar maraknya praktik pungli di Kantor Imigrasi Klas I Khusus Surabaya itu merupakan fakta lapangan yang tidak bisa ditutupi siapapun. Noda bagi lembaga layanan publik ini sudah cukup lama berlangsung. Ironisnya setiap dilakukan penyelidikan secara resmi, selalu gagal dibuktikan. Ini karena modus operandinya sangat rapih. Juga, kepiawaian personil kantor imigasi tersebut dalam “bekerjasama” dengan para media lokal dan nasional dalam bentuk “iklan tutup mata”. Juga beberapa oknum aparat hukum yang datang setiap bulan untuk mengambil jatah bulanan.
Karena itu, sejak pemerintah lewat Menkumham Patrialis Akbar menegaskan, bahwa pemberantasan korupsi dan penyalagunaan wewenang, serta pemberantasan mafia hukum menjadi target utama pemerintah dalam menegakkan hukum dan hak asazi manusia. Berbekal tekad untuk membersihkan praktik-praktik pelanggaran hukum itu, maka beberapa staf intelejen tim Adhyaksa yang “belum terkontaminasi” itu sepakat melakukan penegakan hukum secara undercover dalam proses pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) pelanggaran tersebut.
Cukup banyak target penegakan hukum yang menjadi pekerjaan rumah dari Jakarta. Salah satunya membuktikan adanya penyelewengan tugas dan wewenang di lingkup kerja keimigrasian di Jawa Timur. Modal dalam pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) itu adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian.  (bersambung..)

0 komentar:

Posting Komentar