Kamis, 25 Juni 2009

Imigrasi Tanjung Perak Siap Tegakkan Aturan Keimigrasian


oleh Prima Sp Vardhana

SETELAH kesemrawutan layanan berkali-kali dikritisi media di akhir kepemimpinan Budi Santoso sebagai Kepala Kantor. Kondisi layanan Kantor Imigrasi Kelas I Tanjung Perak, Surabaya,sejak dipimpin Eko Kuspriyanto MM terlihat mengalami peningkatan yang menjanjikan layanan “bersih” dan bijaksana.

Peningkatan layanan terlihat kebijakan mantan Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Palu ini, yang siap memberikan “hukuman” terhadap bawahannya yang nekat slintutan memanfaatkan wewenang dan posisinya, untuk mencari keuntungan pribadi. Dan, merepotkan anggota masyarakat yang akan mengurus paspor.

“Sejak diberi amanah memimpin kantor ini, saya sudah memberi warning pada para Kasi dan pegawai untuk mengedepankan layanan sesuai aturan terhadap pemohon paspor. Karena itu, saya tidak akan memberi toleransi pada mereka yang nakal,” kata Eko didampingi Humas Wakito Wibowo di ruang kerjanya, Rabu (24/6).

Sikap tegas yang diusungnya sebagaimana saat memimpin Kantor Imigrasi Palu itu, menurut ia, untuk mengkilapkan citra kantor imigrasi sebagai ujung tombak salah satu lembaga layanan publik yang bersih. Juga, menjunjung tinggi aturan pemerintah yang berlaku.

Karena itu, sejak memimpin Kantor Imigrasi Kelas I Tanjung Perak itu, pria yang fasih berbahasa Jawa kromo inggil ini melakukan gebrakan dengan melakukan beberapa pembenahan internal, khususnya terhadap moral karyawan yang sebelumnya banyak dikeluhkan para Badan Usaha (rekanan pengurusan paspor, red) dan masyarakat umum. 

Bentuk-bentuk pembenahan yang dilakukan Eko sangat variatif. Melakukan rolling petugas, khususnya mereka yang memiliki rapor meragukan dalam mendukung tekadnya melakukan peningkatan layanan. Barometer penggeseran itu berdasar masukan dari beberapa wartawan dan BU. Rencananya perputaran tugas itu berlangsung secara rutin, dalam kurun triwulan atau catur wulan.

“Program rolling petugas ini, saya yakini akan menumbuhkan motivasi dalam bekerja. Karena setiap petugas akan dihadapkan pada sebuah kewajiban baru. Selain itu, untuk meminimalisasi lahirnya raja-raja kecil di bidang tugas keimigrasian di kantor ini,” kelakarnya.

OPERASI LAPANGAN

Selain itu, ia juga menugaskan seksi Wasdakim untuk turun ke lapangan. Kebijakan itu dilakukan sebagaimana juklak tugas seksi ini di kantor imigrasi, yang wajib melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pemukim yang melakukan pelanggaran. 

Menurut ia, kebijakannya mewajibkan para petugas di seksi Wasdakim itu untuk selalu turun lapangan, ternyata menghasilkan sinergi kerja yang menjanjikan peningkatan layanan dalam struktur kerja. Keberhasilan menangkap dua tenaga asing yang Kitas-nya tidak sesuai dengan tempat tinggalnya.

“Berdasarkan tempat tinggal kedua tenaga asing itu, seharusnya pengurusan Kitas mereka di Kantor Imigrasi Tanjung Perak. Namun yang terjadi tidak demikian. Saat tertangkap, ternyata Kitas mereka diurus di Kantor Imigrasi Waru. Karena itu mereka kami tindak dan diproses agar memperbaiki Kitas mereka,” ujarnya.

Soal sikap tegasnya yang sempat membuat Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Surabaya Djoni Muhamad kalang kabut. Diakui, tak membuatnya salah tingkah. Sebab yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh peraturan. Karena itu, saat kedua pekerja asing itu tertangkap, ia langsung menghubungi Djoni Muhammad secara kedinasan. Ia menjelaskan, bahwa dua tenaga asing yang ditangkapnya itu melakukan “pemalsuan tempat tinggal”. Mereka melakukan pengurusan Kitas di kantor yang salah. Dengan tempat tinggal saat tertangkap di wilayah kerja Imigrasi Tanjung Perak, seharusnya kedua tenaga asing itu wajib mematui prosedur yang ada.

“Selama saya melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan yang digariskan pusat, saya tidak akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan terhadap pelanggar aturan. Karena saya yakin tindakan tegas ini akan didukung oleh Kepala Kanim yang dibohogin oleh tenaga asing atau badan usaha yang mengurus ijin tinggal mereka,” katanya.

Tentang wilayah kerja Kantor Imigrasi Tanjung Perak, dikatakan, sebagaimana ketetapan dari pusat. Wilayah kerjanya meliputi Daerah Pelabuhan Tanjung Perak, Kab. Gresik, Kab. Lamongan, Kab. Tuban, Kab. Bojonegoro, Kab.Bangkalan, Kab. Sumenep, Kab. Sampang, dan Kab. Pamekasan. Sedangkan di Kota Surabaya wilayah kerja yang harus ditangani adalah Kec. Tandes, Kec. Benowo, Kec. Lakarsantri, Kec. Krembangan, Kec. Pabean Cantikan, Kec. Semampir, serta Kec. Kenjeran.

Dengan pembagian wilayah kerja yang sangat tegas itu, Eko meminta pada para BU untuk bersikap disiplin dalam memberikan bantuan pengurusan jasa permohonan ijin tinggal untuk tenaga asing yang mempercayainya. “Jika para BU bersikap disiplin dalam membantu pengurusan ijin tinggal para tenaga asing yang meminta tolong jasanya, saya yakin persoalan pengawasan terhadap para tenaga asing di wilayah kerja masing-masing kantor imigrasi tidak akan melahirkan sebuah permasalahan,” katanya.

Eko juga meminta pada beberapa intansi pemerintah yang ada di seputar wilayah kerja Pelabuhan Tanjung Perak untuk ikut mendukung tegaknya pelaksanaan aturan keimigrasian. Harapan yang bersifat bersayap itu, diakui, muncul lantaran pengalaman tim Wasdakim yang diturunkan ke lapangan gagal menangkap tenaga asing yang bekerja pada sebuah perusahaan minyak. Dari informasi intelejen yang didapatnya, tenaga asing itu ditengarai memiliki ijin tinggal yang menyalahi aturan keimigrasian.

“Aturannya tenaga asing tersebut harus ditangkap dan diperiksa surat-surat keimigrasiannya, tapi tim Wasdakim gagal menangkap. Pasalnya saat akan ditangkap tenaga asing itu ada di wilayah yang dijaga oleh militer, sehingga tim kami memilih menggagalkan operasi penangkapan untuk mengurus ijin dulu pada intansi pemilik wilayah,” katanya.

Ironisnya saat ijin penangkapan dikantongi tim Wasdakim Tanjung Perak, ternyata para tenaga asing yang ditengarai menyalahi aturan keimigrasian itu sudah tidak ada di ditempat. Para tenaga asing itu bak raib ditelan air laut Tanjung Perak. 

Pengalaman di lapangan itu, memmbuatnya memiliki rencana dalam waktu dekat akan melakukan pendekatan dengan semua intansi yang ada di Pelabuhan Tanjung Perak untuk melakukan kesepakatan kerja dalam penegakan aturan keimigrasian, sehingga nantinya tim Wasdakim dapat melakukan penangkapan sebagaiamana data intelejen yang menyebutkan tenaga asing yang bekerja di wilayah pelabuhan itu melakukan pelanggaran keimigrasian. (pvardhana88@gmail.com)

Sabtu, 20 Juni 2009

Perusak Situs Majapahit Bisa Diganjar Penjara


oleh Prima Sp Vardhana/ berbagai sumber

PERUSAKAN  situs sejarah atau kawasan cagar budaya akibat pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) bisa diganjar dengan pasal berlapis. Hal tersebut dikemukakan anggota tim evaluasi pembangunan PIM sekaligus ketua LSM Gotrah Wilwatikta, Anam Anis,  7 Januari silam.

Menurut Anis, selain diancam dengan tuntutan primer Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, pelaku juga bisa dijerat dengan tuntutan subsider pasal 406 KUHP.

Ancaman pidana dalam pasal 406 KUHP menyebutkan hukuman penjara dua tahun jika ada kesengajaan melawan hukum untuk menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai, atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.

Kasatreskrim Polres Mojokerto AKP Rofiq Ripto Himawan menyebutkan, pada tahap awal polisi memang sudah melakukan penyelidikan ke lokasi pembangunan PIM dan menanyai sejumlah orang di lokasi tersebut pada Selasa (6/1) sore.

"Pada prinsipnya kita baru mengumpulkan informasi. Sementara ini kita belum melihat bahwa pembangunan itu ada unsur kepentingan pribadi," katanya.

Kepolisian Resor (Polres) Mojokerto awal pekan depan akan memeriksa proyek pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) terkait kerusakan situs kerajaan.

Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres Mojokerto, AKP Rofik Ripto Himawan mengatakan, pihaknya telah menyampaikan surat panggilan dan akan memeriksa sejumlah pihak pelaksana proyek PIM, Senin (12/1). "Surat pemanggilan pemeriksaan sudah kami layangkan kepada sejumlah pihak yang berhubungan dengan proyek tersebut," kata Rofik saat dikonfirmasi di Mojokerto, tanpa menyebut secara rinci siapa saja yang dipanggil pada awal pekan depan.

Pada proses pemeriksaan nanti, pihaknya lebih terfokus dengan materi dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. "Karena dari informasi yang kami terima, banyak benda-benda cagar budaya yang mengalami kerusakan pada proyek tersebut," katanya.

Menyinggung pelanggaran Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perusakan dan penghancuran barang milik orang lain, pihaknya belum melihat kemungkinan mengarah ke sana. "Untuk sementara kami masih terfokus dengan pelanggaran benda cagar budaya dulu. Namun, kalau ada perkembangan tentang adanya perusakan barang milik orang lain, seperti yang tertera daam Pasal 406 KUHP, tentunya akan kami lakukan," katanya.

Rofik menegaskan, jika langkah yang diambil pihak kepolisian saat ini masih berkutat seputar pemeriksaan sejumlah pihak proyek pelaksanaan PIM. "Kalau masalah penetapan siapa yang jadi tersangka itu masih belum. Lihat perkembangan dulu lah," katanya.

Proyek PIM yang Menghebohkan


Oleh Henri Nurcahyo

Rencana membangun gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM) ternyata menggegerkan. Proses pembangunannya dianggap merusak tatanan, karena dibangun persis di atas situs bersejarah, dan sekaligus merusaknya. Maka berbagai pihak saling lempar kesalahan, saling tuding. Bahkan masyarakat yang tahu apa-apa juga kena tudingan kesalahan. Mengapa bisa begitu? 


Masterplan PIM itu sendiri sebenarnya sudah dibuat dan beredar tahun 2005. Menurut rencana PIM sebagai bagian dari Majapahit Park itu dibangun tiga lantai. Majapahit Park adalah proyek ambisius pemerintah untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu, dengan tujuan menyelamatkan situs dan benda- benda cagar budaya di dalamnya dari kerusakan dan menarik kedatangan turis, dan sekaligus sebagai sarana edukatif dan rekreatif. 

PIM sendiri nantinya akan berupa bangunan berbentuk bintang bersudut delapan yang disebut Cungkup Surya Majapahit, lambang Kerajaan Majapahit. Rencananya, di bawah Cungkup Surya Majapahit itu akan dipamerkan sejumlah koleksi PIM yang belum banyak terekspos. Pengunjung juga bisa berjalan di atas ubin kaca dan melihat langsung struktur bangunan Majapahit yang berada di bawahnya.

Peletakan batu pertama PIM dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, 3 November 2008. Lokasinya di tanah lapang bersebelahan dengan Museum Trowulan yang sejak 1 Januari 2007 diubah namanya menjadi Pusat Informasi Majapahit. Meski dalam perjalanannya ditemukan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno, hal itu tak dihiraukan. Tanah terus digali dan benda bersejarah itu dijebol untuk pembangunan sekitar 50 tiang pancang beton Pusat Informasi Majapahit (PIM). Di sekitarnya, batu bata kuno berukuran besar dan berwarna kehitaman peninggalan zaman Majapahit dibiarkan berserakan.

Bangunan Trowulan Information Center (disebut juga Pusat Informasi Majapahit), yang memakan lahan seluas 2.190 meter persegi dan dirancang oleh arsitek Baskoro Tedjo itu adalah tahap pertama dari keseluruhan proyek senilai Rp 25 miliar, yang direncanakan selesai dalam tiga tahun mendatang. Ironinya, proyek pembangunan itu justru memakan korban situs itu sendiri, bahkan di tahap yang paling awal.

Sampai di sini, geger tak akan meledak kalau saja Harian Kompas tidak memberitakannya awal Januari yang lalu. Pemerintah dituduh melakukan perusakan karena proyek PIM tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak mempunyai kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), tak punya studi kelayakan, dan tak melibatkan Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pengemban tugas penelitian di wilayah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal tersebut tidak saja melanggar Undang-Undang Nomor 5 tentang Benda Cagar Budaya, tetapi juga tak sesuai dengan etika profesi arkeolog dan hati nurani.

Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, Drs. I Made Kusumawijaya, M.Si, mengakui bahwa metode pembuatan fondasi dengan cara menggali tanah memang semestinya tidak dilakukan karena akan merusak situs sejarah dalam jumlah banyak. Sekalipun begitu, ia memastikan sejumlah cor beton maupun batu kali yang sudah terpasang untuk fondasi tidak akan diangkat lagi. 

“Perlakuan Pemerintah diibaratkan bapak memperkosa anak dan kemudian memutilasinya,” kata Prof Dr Mundardjito, menggambarkan kerusakan situs akibat proyek PIM senilai Rp 25 miliar tersebut. Walaupun ditunjuk sebagai Tim Evaluasi Pembangunan PIM tanpa SK (surat keputusan), Mundardjito bersama Arya Abieta, Osriful Oesman, Daud Aris Tanudirjo, dan Anam Anis, mengaku telah melakukan evaluasi sebagaimana diharapkan. Namun, yang sangat ia sayangkan, sembilan poin penting yang direkomendasikan, terkesan tidak dipedulikan.

Saling Tuding

Pimpinan proyek pembangunan Majapahit Park, Aris Soviyani, memberikan versi berbeda. Ia bersikeras bahwa tak ada situs Majapahit yang dirusak dengan pembangunan ini. Pernyataan Aris ini didukung oleh Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur I Made Kusumajaya, yang mengatakan bahwa penggalian fondasi untuk pembangunan pusat informasi itu sudah dilakukan dengan memperhatikan kaidah arkeologis. ”Memang harus ada (situs) yang rusak, tetapi yang rusak itu bukan bagian penting,” ujar Made sambil menunjuk tumpukan bongkahan batu bata dari zaman Majapahit yang sudah rusak.

Sedangkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik,mengakui ada kekeliruan dan kecerobohan dalam proses pekerjaan penggalian terkait pembangunan proyek sehingga merusak bagian-bagian situs sejarah tersebut. Namun semula Menbudpar tetap ngotot membangun PIM di lokasi itu juga, hanya waktunya ditunda. Karena kalau dibangun di lokasi lain diluar Trowulan, tidak ada auranya. 

Sementara itu, Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat menganggap arsitek yang menangani pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, Baskoro Tedjo, hanya menjadi kambing hitam. Dosen Institut Teknologi Bandung tersebut ditunjuk menjadi arsitek pembangunan PIM ketika masterplannya sudah jadi. ”Dari pengakuan Baskoro, sebelum dia membuat desain peta lokasi PIM, masterplan sudah jadi. Seharusnya pembuat masterplan ini yang harus mempertanggungjawabkan hasil karyanya,” kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jabar Pon S Purajatnika.

Secara terpisah, Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pengemban tugas penelitian arkeologi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tidak pernah dilibatkan. ”Padahal, Situs Majapahit di Trowulan itu merupakan bagian dari sasaran penelitian arkeologi yang dirancang jangka panjang. Secara akademis maupun teknis Balai Arkeologi Yogyakarta tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan PIM,” kata Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto.

Anggota DPRD Kabupaten Mojokerto Syaiful Fuad mengungkapkan, pelanggaran yang dilakukan tergolong dalam kategori berat. Semestinya sebelum mendirikan bangunan, pemerintah pusat yang dalam hal ini Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) atau Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jatim yang terlibat di dalamnya harus lebih dulu mempelajari kemungkinan terburuk terkait dampak pembangunan terhadap situs-situs kerajaan yang terendam dalam tanah.

Menurutnya pelanggaran yang dimaksud adalah melawan produk hukum yang dibuat oleh pemerintah sendiri, yakni Perda Nomor 11 Tahun 2002 yang telah diundangkan pada 18 November 2002 tepatnya Nomor 4 seri D tentang IMB. ”Artinya kalau Amdal tidak dilakukan sudah jelas IMB tidak dikantongi oleh pelaksana,” terangnya. Fuad menambahkan kendati PIM merupakan proyek pemerintah pusat dan didanai oleh APBN, pihaknya meminta agar Pemkab Mojokerto selaku pemegang wilayah tidak tinggal diam.

Kepala Bapedalda Kabupaten Mojokerto Heri Suwito mengatakan, sejauh ini pelaksanaan PIM memang belum mengantongi IMB, yang dibuktikan dengan hasil pengkajian Amdal. ”Belum ada izin IMB-nya, makanya kita tidak bisa melakukan pengkajian Amdal,” kata Heri singkat.

Rakyat Juga Dituding

Meski tidak terkait dengan pembangunan PIM, tak urung masyarakat setempat juga tak luput dari tudingan kesalahan. Tudingan itu berbunyi, bahwa kerusakan situs Trowulan akibat industri rakyat pembuatan batu bata justru jauh lebih hebat. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menunjukkan, sekitar 6,2 hektar lahan di situs Trowulan rusak setiap tahunnya untuk pembuatan batu bata rakyat.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Junus Satrio Atmodjo mengatakan, situs Majapahit di Trowulan mengalami kerusakan sejak tahun 1990. Sedikitnya 5.000 keluarga menggantungkan hidupnya pada industri batu bata yang bahan bakunya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit.

Padahal, masyarakat menggali tanah untuk pembuatan batu bata karena tak ada penghasilan alternatif. Masyarakat juga berharap saat menggali tanah bisa menemukan benda-benda bersejarah yang kemudian bisa dijual. “Saya ini kan orang kecil, kalau tidak buat itu (batu bata), lantas makan apa. Sementara cari kerja harian juga sulit,” kata Wanito (54), penduduk di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Wanito sehari-hari membuat patung dari tanah liat bersama sejumlah saudaranya.

Suwadi (56), salah seorang pembuat batu bata, yang melakukan penggalian tanah dan memusatkan usahanya di sebuah lahan persis di belakang Pusat Informasi Majapahit (PIM), mengatakan dirinya sering kali menemukan peninggalan Majapahit. Suwadi sudah bertahun-tahun menjalankan usahanya dan tidak terhitung sudah berapa hektar lahan rusak. Padahal, di lapisan bawah lahan itu ada peninggalan Majapahit.

Relokasi dan Pengusutan

Hasil rapat 8 Januari 2009 dengan puluhan pemangku kepentingan di Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, disepakati Situs Trowulan yang rusak akibat proyek PIM harus direhabilitasi dan diteliti kembali dengan melibatkan para ahli. Selain itu, proyek tersebut harus dicarikan alternatif lokasi yang baru (relokasi) ke tempat yang tidak merusak situs.

Taman Majapahit atau Majapahit Park tetap akan dibangun di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Meski demikian, pembangunan akan didesain ulang dengan cara disayembarakan dan situs yang ada sekarang tidak boleh dirusak. Untuk itu, telah dibentuk tim evaluasi atas proyek tersebut oleh Menbudpar. Secara bertahap, usulan langkah lanjutan atas situs Trowulan meliputi relokasi, rehabilitasi (merekonstruksi situs yang rusak sesuai kaidah arkeologi), penataan ruang, dan penetapan kawasan situs nasional Majapahit.

Namun anehnya, tanggal 14 Januari 2009 Bupati Mojokerto Suwandi mengatakan pembangunan yang didanai pemerintah pusat sebesar Rp 200 miliar itu layak untuk diteruskan. Selain bisa menjadi sarana wisata dan pengetahuan seputar kejayaan Majapahit, PIM dianggap mampu mendongkrak pelestarian budaya di kancah internasional.

Meski demikian, pihak kepolisian melakukan pengusutan dan terus mengumpulkan bukti-bukti bahwa telah terjadi pengrusakan dan pelanggaran hukum. Namun nampaknya kepolisian tak punya bekal yang memadai untuk mengibarkan bendera perang. Sejumlah saksi ahli dipanggil, mangkir datang. Masyarakat nanti akan menilai, apa jadinya jika suatu ketika nanti kepolisian memutuskan “pemerintah dinyatakan sebagai tersangka” kasus perusakan situs purbakala. Atau, bisa jadi kasus ini akan menguap begitu saja. 

Yang jelas, proyek Taman Majapahit ini setidaknya memberi pelajaran sangat berharga, antara lain niat baik saja kalau tidak diaplikasikan dengan baik, hasilnya tidak akan baik. (swaramajapahit@gmail.com)

Salak Ranubaya Siap Kibaka Trawas


oleh R. Amroe

Kalau tidak ada aral melintang, kepopuleran Salak Pondoh sebentar lagi akan tergusur Salak Ranubaya, yang hanya tumbuh di Trawas. Peluang pasar yang akan dilakukan salak khas Trawas ini, diyakini Camat Trawas Drs.H. Nugraha Budhi Sulistya, MSi, tinggal tunggu waktunya. 


SALAK dikenal wisatawan asing dan masyarakat Indonesia sebagai buah asli Indonesia. Berdasarkan kultivarnya, di Indonesia tersurat memiliki 20 sampai 30 jenis. Jenis terpopuler adalah Salak Pondoh dari Sleman – Yogyakarta. Sedangkan Salak Sidimpuan dari Sumatera Utara, Salak Condet dari Jakarta, dan Salak Bali dari Pulau Bali menmpati peringkat populer kedua.

Kepopuleran buah berdaging putih yang dibungkus kulit bersisik itu, karena rasanya yang manis. Penyajiannya dapat beragam, sebagai buah-buahan umumnya atau manisan. Keistimewaan lainnya, dapat dimanfaatkan sebagai pertolongan pertama penderita diare, khususnya yang kemampoh (setengah matang).

”Kandungan vitamin Ranubaya yang lebih istimewa dari Salak Pondo, yang meyakinkan saya akan peluang pasarnya. Salah satunya kadar vitamin C-nya yang sangat tinggi dan bermanfaat untuk menjaga stamina,” kata bapak dari dua orang anak ini.

Pengetahuan tentang tingginya kadar vitamin itu, diakui, didapat dari hasil riset bersama Univ. Surabaya (Ubaya). Salak yang tumbuh subur di lereng Penanggungan dan Welirang ini, ideal dinikmati sebagai kudapan buah atau manisan.

Strategi yang disiapkan dalam membuka peluang pasarnya, adalah menyempurnakan master plan Trawas Raya sebagai area wisata pilihan utama di Jawa Timur. Targetnya setahun ke depan, Trawas tidak lagi menjadi daerah wisata alternatif setelah Batu dan Prigen Raya. Keindahan panorama alam Trawas yang akan dimanfaatkan sebagai modal utama. Keindahannya tak kalah dengan Bali, apalagi wisata yang dapat disiapkan sangat variatif. Misalnya wisata air terjun Dlundung dan Putuk Truno, wisata religi di Jolotundo yang airnya terbaik di dunia dan memiliki kemampuan pengobatan segala penyakit. Hingga wisata out-bound di lereng Penanggungan dan Welirang.

Membalik Tangan

Mendongkrak citra Trawas dan mempoopulerkan Salak Ranubaya, diprediksi alumnus APDN Angkatan 20 ini, tidak semudah membalik tapak tangan. Karena itu, ia berharap kepimpinannya di Trawas didukung oleh semua kompoten masyarkat yang jadi kolega kerjanya.

”Tanpa dukungan masyarakat, saya yakin sampai kapanpun keistimewaan strategi saya tidak akan menghasilkan apap pun,” ujar pria berusia 39 tahun ini.

Jabatan Camat yang disandangnya saat ini, tak dipungkiri, tidak membuatnya bangga dan senang. Jabatan tersebut merupakan amanat Allah yang harus dipegangnya secara hati-hati. Sebab tanggungjawab ke depannya berat. Ia harus mempertanggungjawabkan di dua tempat. Di dunia pada Bupati dan diakherat kelak pada Allah.

Dengan beban religius yang membentengi sepak-terjangnya sebagai eksekutif pemerintahan yang langsung bertemu masyarakat, maka suami dari Rahmi Wijayati SSos MM (salah satu Kabid di Dispenda Kota Mojokerto) ini populer sebagai seorang pribadi yang familier. Bahkan, penghobi tanaman hias anthurium ini sangat keras dalam mengendalikan dan mendidik psikologisnya. Salah satunya diaplikasikan dalam prinsip anti feodalisme.

”Sikap feodal itu tinggalan penjajah untuk memecah-belah bangsa Indonesia, buat apa saya mempertahankan. Selain itu, feodalisme sangat ditentang agama yang saya peluk,” katanya terkekeh.

Prinsip itu tercermin dari gaya kepemimpinannya yang mulai diterapkan di Kecamatan Trawas. Ia mengusung managemen horizontal yang ngetren di perusahaan-perusahaan multinasional. Menurut ia, managemen ini sangat pas dalam mengelola sistem manajemen kepemerintahan. Pasalnya akan mempermudah terjadinya komunikasi antara pimpinan dan pembantunya, tanpa dibatasi medium bahas, tempat, kondisi, dan waktu. (tribunonline@gmail.com)

Peta Geografi – Pariwisata
Kecamatan Trawas, Kab. Mojokerto

GEOGRAFI

Luas Wilayah : 29,86 KM-2

Topografi

Luas Kemiringan Lahan
a. Datar (0 – 20) : -
b. Bergelombang (3 – 150) : 1.478 Ha
c. Curam (16 – 400) : 1.785 Ha
d. Sangat Curam (> 400) : 2.537 Ha
Ketinggian Diatas Permukaan Laut a. 700 : 2.060 M

Keadaan Iklim

– Suhu : 29,498 Mm
– Kelembaban Udara : 2.949,8 Mm
– Curah Hujan : 2.253 MM/TH
– Kecepatan Angin : -

PARIWISATA
Jumlah Obyek Wisata
a. Alam : 1 Buah
b. Buatan : 2 Buah
c. Sejarah : 10 Buah
Jumlah Hotel
a. Bintang Lima : -
b. Bintang Empat : -
c. Bintang Tiga : 1 Buah
d. Bintang Dua : -
e. Bintang Satu : -
f. Non Bintang : 3 Buah

Jumat, 19 Juni 2009

Puskemas Jatirejo, Layanan Rumah Sakit Harga Puskesmas


oleh Lucky Errol

Layanan sebuah tempat kesehatan umumnya tercermin dari statusnya. Sebuah puskesmas pasti memiliki layanan yang kurang memenuhi standar kelayakan. Karena itu, banyak pasien puskesmas yang dirujukkan ke rumah sakit agar mendapat layanan kesehatan memenuhi standar. Tidak demikian yang berlangsung di Puskemas Jatirejo. Kendati statusnya puskesmas kecamatan, tapi layanan yang diberikan setingkat rumah sakit. 


SIANG itu sebuah angkot masuk ke halaman Puskesmas Jatirejo di Desa Dinoyo. Sesampai di depan joglo puskesmas, terlihat dua perawat jaga mendorong kereta dorong. Menyambut wanita tua berjarik parang klithik, yang diangkat pria muda keluar dari pintu angkot. Setelah dibawah kereta dorong masuk ruang layanan unit gawat darurat (UGD), dokter menyatakan harus rawat inap. Tanpa berfikir ulang keluarga pasien langsung menyetujui.

Tawaran dokter jaga untuk rawat inap yang langsung disetujui keluarga pasien itu, sepintas sangatlah mengejutkan. Bagaimana tidak. Sebuah puskesmas yang ada di pertigaan jalan desa, ternyata mampu menawarkan layanan rawat inap seperti rumah sakit daerah.

Saat dikonfirmasi, dr Agus Sutoyo -Kepala Puskesmas Jatirejo tersebut, mengatakan, layanan rawat inap yang ditawarkan puskesmasnya bukan hal baru. Setiap masyarakat di Kecamatan Jatirejo sudah mengetahui dan merasakan layanan itu.

Layanan rawat inap yang dioperasikan puskesmas di Jl. Basuki Rahmat Desa dinoyo itu, menurut dr. Agus, mulai dirintis tahun 1991 oleh dr. Yusuf sebagai Kepala Puskesmas. Pada awalnya kualitas rawat inapnya masih standar puskesmas.

Kendati demikian, program baru itu banyak diminati masyarakat. Selain faktor geografis daerah yang jauh dari pusat kota, layanan itu menjadi alternatif pilihan masyarakat. lantaran biaya yang ditawarkan relatif murah.

Standar RS

Setelah 17 tahun, layanan rawat inap tersebut berkembang pesat. Jumlah ruangan semula hanya 1 kamar ruang inap, kini ada 19. Dibagi dalam 3 jenis layanan, yaitu ruang Anggrek sebanyak 8 kamar dengan fasilitas kamar mandi sendiri. Ruang Melati 9 kamar dengan fasilitas kamar mandi bersama. Sementara ruang sal terdiri atas ruang Dahlia dengan 5 tempat tidur dan Teratai dengan 6 tempat tidur, yang fasilitasnya kamar mandinya secara bersama.

Sedangkan tarifnya untuk ruang Anggrek Rp. 25.000,-per hari, Melati Rp. 17.500,- per hari, Sal Dahlia – Teratai Rp 12.500 per hari. Tersedia pula kantin yang menyediakan paket makan Rp. 10.000,- per hari dengan fasilitas 3 kali makan dan snack.

Nilai tambah puskesmas adalah fasilitas ruang UGD, ruang bersalin (ponet), dan ruang USG untuk mendeteksi jenis kelamin anak. Jadwal USG 2 minggu sekali dengan 2 dokter spesialis. Ruang rontgen dalam proses pembangunan.

Tenaga medis yang bertanggung jawab, kata dr. Agus Sutoyo, ada 2 dokter umum dan 1 dokter spesialis gigi. Mereka bertugas selama jam kerja. Pasien yang datang diluar jam kerja penanganan sementara dilakukan perawat, dengan sistem on call – perawat menangani pasien dengan panduan dokter lewat telpon. Perawat yang piket di luar jam kerja sebanyak 4 orang.

Keistimewaan layanan Puskesmas Jatirejo, diakui beberapa pasien yang sedang menginap, adalah kualitas layanannya yang bertolak belakang dengan biaya rawat inapnya.
”Semoga adanya pelayanan ini dapat menambah kenyamanan pasien dan keluarga yang menjaga,” ujar Agus Sutoyo yang memimpin 58 karyawan di puskesmas Jatirejo. (tribunonline@gmail.com)

Desa Peterongan, Desa Pionir Layanan Malam Hari


oleh R. Amroe

Pelayanan kelurahan/desa di Indonesia, umumnya hanya berlangsung pada jam-jam kerja. Tidak jarang usai shalat Dhuhur, layanan kelurahan/desa sudah tutup. Pasalnya para perangkatnya sudah pulang. Namun, tidak demikian yang dilakukan Desa Peterongan di Kecamatan Bangsal Mojokerto. Sudah setahun ini, balai desanya memberikan layanan masyarakat yang sangat istimewa. Layanan administratif pada malam hari mulai pukul 18.00 hingga 21.00. 


MALAM itu jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB, Umar Husni terlihat tergesa-gesa menuju ke Balai Desa Peterongan Kec. Bangsal. Ia ingin meminta surat kelahiran tetangganya, untuk melengkapi syarat pengurusan akte kelahiran yang dibutuhkan rumah sakit.
Bagi masyarakat di desa atau kelurahan lain, kelakuan bapak dari dua anak ini sangat lucu. Bagaimana tidak mengurus surat kelahiran pada malam hari. Namun tidak demikian buat Umar Husni. Kunjungannya meminta surat kelahiran yang dinanti-nanti tetangganya di rumah sakit itu, ternyata membuahkan hasil. Tiga puluh menit kemudian saat kembali pulang, selembar surat kelahiran sudah ada ditangan.

”Sejak balai desa memberikan layanan malam hari, masyarakat Desa Peterongan sangat senang. Kami semua sangat terbantu sekali khususnya dalam pengurusan surat-surat yang membutuhkan waktu singkat,” katanya.

Pujian yang diberikan Umar Husni, ternyata diperkuat keterangan yang disampaikan beberapa masyarakat desa yang ada di warung kopi sebelah utara balai desa. Rata-rata mereka menilai kebijakan yang dilakukan Kepala Desa Muhammad Rowi Achmad sejak 1 Januari 2008 merupakan terobosan dalam melayani masyarakat. Sehingga kebutuhan administratif yang dadakan dapat terselesaikan tanpa harus menunggu esok hari.

“Layanan malam hari ini pernah membantu saya dalam pengurusan KTP. Sebab siang hari saya bekerja di pabrik, sementara izin pulang harus beresiko kehilangan uang makan,” kata Bagio yang saat itu tengah menunggu kopi pesanannya.

Sedangkan Pak Rowi yang kembali menjabat mulai 14 Agustus 2007 ini, mengatakan, sangat senang jika terobosannya dalam memberikan layanan sangat membantu kepentingan warganya. Menurut ia, konsep layanan malam hari yang diberikan perangkat desanya, sesungguhnya bukan hal baru.

”Layanan ini merupakan aplikasi dari pelayanan prima harapan Presiden SBY, yang dapat dilakukan lembaga-lembaga layanan publik dari Jakarta hingga ke desa-desa di seluruh Indonesia,” ujar pria pendalungan Madura yang memenangkan Pilkades pada 15 Juni 2007 silam.

Reaksi Warga
Kendati demikian, pelayanan malam hari tersebut, diakui, tidak dapat digulirkan dengan mudah. Perangkat desa membutuhkan persiapan sekitar satu minggu lebih, dengan mencoba-coba membuka balai desa untuk melihat reaksi warga desa.

Saat pada hari kedelapan ada warga desa yang bereaksi dengan mendatangi balai desa. Aktifitas layanan malam hari pun mulai diumumkan secara resmi. Untuk program tersebut, Rowi menerapkan sistem piket perangkatnya bertugas mendampingi dirinya. Setiap hari satu petugas Kaur Desa dan Pejabat Sekdes yang tugasnya membuat surat.

“Selain perangkat desa, saya meminta setiap dusun mengirimkan dua warganya sebagai tenaga keamanan balai desa untuk piket malam dan jaga malam,” katanya.

Layanan malam hari di desa Peterongan, diyakini Said Sutomo -Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur, sebagai bentuk layanan publik yang patut ditiru para lembaga publik yang ada di Indonesia., Khususnya lembaga publik yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat.

Karena itu, diprediksikan bentuk layanan malam berpeluang mengantarkan desa yang memiliki tiga dusun dengan 1.727 jiwa ini menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Timur, bahkan dari Presiden SBY sebagai desa pionir layanan malam hari se-Indonesia.

Tidak hanya itu, terobosan layanan publik yang layak diacungi jempol ini dinilainya akan membawa atmosfer positif atas citra Desa Peterongan. Misalnya nama desanya yang tidak begitu populer di Kecamatan Bangsal dan Kabupaten Mojokerto umumnya, dalam waktu dekat akan lebih dikenal.

Bahkan suatu saat nanti bukan tidak mungkin, desa berlokasi di selatan jalan poros antara Mojosari dan Mojokerto dengan jarak 3 km tenggara kantor kecamatan itu akan dijadikan desa percontohan untuk wilayah Kabupaten dan Kota Mojokerto. (tribunnline@gmail.com)

Keripik Kedelai Pugeran, Produk Rumahan Kualitas Industri


oleh Lucky Errol

SEBELUMNYA, keripik kedelai populer sebagai salah satu kudapan hidangan hari raya. Rasanya yang enak dan gurih membuat keripik ini menjadi hidangan favorit. Atmosfer yang membuat terbukanya pasar itu ditangkap oleh para pengrajin kerupuk kedelai di Desa Pugeran, Kec. Gondang Mojokerto. 

Langkah awal yang mereka lakukan adalah membentuk sebuah kelompok kerja yang disepakati bernama Kelompok Matahari, dengan anggots 18 ibu-ibu pengrajin. Dan, Yunanik disepakati sebagai ketua kelompok yang dibangun pada 2 tahun lalu itu. Konsep kerja kelompok ini untuk menjaga eksistensi dan persaingan harga antar pengrajin.

”Sebelum ada industri keripek kedelai, ibu-ibu di desa umumnya murni ibu rumah tangga. Saat ini, status pengrajin membuat ibu-ibu di sini ikut terlibat sebagai mesin pengail rezeki. Sehingga tingkat perekonomian kami pun mengalami peningkatan,” kata Yunanik saat ditemui di rumahnya.

Wanita yang memulai usaha sejak 6 tahun lalu ini mengatakan, kesuksesan yang didulang kelompoknya saat ini diluar prakiraan. Pasalnya investasi awal yang digunakan hanyalah alat-alat dapur sebagai sarana produksi.

Kendati demikian, setahun terakhir keberadaan para pengrajin keripik kedelai ini berhasil mengetuk empati Pemkab. Mojokerto. Terbukti dengan mengalirnya bantuan mesin pengiris keripik yang diberikan langsung oleh Bupati Mojokerto Drs. H. Suwandi MM., bulan Desember 2008 lalu. Mesin yang diterima 18 anggota kelompok pengrajin dibuat oleh SMK Jetis.
Saat ini, rata-rata setiap anggota kelompok, memiliki karyawan 2 hingga 5 orang tetangga masing-masing. Dengan jumlah produksi yang berkembang pesat antara 12kg hingga 24kg, maka setiap anggota memiliki omset bersih Rp 75.000 – Rp 100.000 per harinya.

Harga keripik kedelai yang ditetapkan kelompok Matahari sebesar Rp. 2.500 untuk kemasan 100gr, Rp. 5.500 untuk kemasan 225gr, Rp. 12.000 untuk kemasan 500gr, dan Rp. 24.000 untuk kemasan 1 kg.

Harga yang relatif murah itu, maka pemasaran keripik kedelai saat ini telah menguasai Kab./ Kota Mojokerto. Sejak setahun terakhir sudah merambah ke wilayah Jombang, Malang dan Surabaya. Mayoritas pemasaran mereka di tempat-tempat wisata yang dimiliki masing-masing daerah.

”Wilayah pemasarannya tidak diatur kelompok, karena diantara anggota sangat menjunjung etika bisnis. Wilayah yang sudah dimasuki salah satu anggota kelompok, tidak akan dimasuki anggota lainnya,” ujar Yunanik lagi.

Lontong Keripik

Pesatnya perkembangan pasar yang menyerap produk keripik kedelai kelompok ini, menurut solikah –salah satu pengrajin, tidak lepas dari bahan yang digunakan jenis impor. Biji kedelainya lebih kecil dan padat.

Bahan yang digunakan dalam memproduksi keripik adalah kedelai, tepung terigu, tepung kanji, telur, soda kue, bumbu-bumbu dan biji kedelai yang berguna pembuat rasa.

Sedangkan proses pembuatan yaitu merebus kedelai serta pengupasan kulitnya. Selanjutnya rebusan itu dicampur dengan bahan-bahan lain dan bumbu penyedap. Saat kedelai dan bahan lainnya tercampur membentuk lontong kerupik, maka proses selanjutnya lontong keriupik dikukus dalam dandang selama 2 jam.

Proses terakhir, lontong keripik ditiriskan, setelah dingin diris tipis-tipis dengan pengiris kemudian digoreng.

Ironisnya masa kedaluwarsa keripik kedelai yang diyakini Solikah mampu bertahan hingga 2 bulan, ternyata dalam praktiknya hanya bertahan selama 3-4 minggu saja. Kondisi keripik sudah melempem akibat kemasan, yang sudah bocor.

Karena itu, masing-masing pengrajin saat ini tengah berusaha mendapatkan mesin kemasan, yang mampu memenuhi standar ketahanan saat dipasarklan. Sehingga sistem perputaran produksi dan penarikan retur berlangsung sesuai target waktu setiap 2 bulan sekali.

”Salah satu kendala kami gagal memasarkan di supermarket adalah faktor kemasan. Jika kondisi ini dapat kami selesaikan, kami yakin pasarnya makin melebar,” ujar Teguh yang memproduksi keripik kedelai berlabel Teguh Jaya. (tribunonline@gmail.com)

Batik Tulis Mojokerto Berdendang di Tingkat Nasional


oleh: Fakih Ahmad, Prima Sp Vardhana

Merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia yang sudah populer di tingkat internasional. Namun, selama ini yang terkenal hanyalah batik-batif yang bercirikan Yogya dan Solo, seperti kawung, parang, gondosuli, ceplok dan lainnya. Padahal Kota Mojokerto memiliki sebuah batik khas, yang memiliki sejarah lebih tua dibanding batik Jawa Tengahaan itu. Mengapa demikian.


Ini karena batik Mojokerto merupakan sebuah budaya kerajinan batik yang sejarahnya berkembang dengan masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Keunikan batik Mojokerto adalah pada nama-nama coraknya yang sangat asing dan aneh di telinga sebagian orang. Misalnya gedeg rubuh, matahari, mrico bolong, pring sedapur, grinsing, atau surya majapait.

Pengrajin batik tulis yang berhasil mempopulerkan Batik Mojokerto di tingkat nasional adalah Hindun (42), di Dusun Keboan Desa Gunung Gedangan Kec. Magersari Kota Mojokerto. Di rumahnya dapat ditemukan ratusan batik-batik itu, dengan warna yang sejuk dan mencerminkan kejayaan Majapahit.

Motif batik Mojokerto yang kini mulai dilirik pasar nasional dan dunia itu, menurut ia, merupakan desainnya dari hasil perenungannya. Dan, semua motif batik temuannya itu kini dikenal sebagai motif batik khas Kota Mojokerto. 

Desain batik itu, diakui, mengambil corak alam sekitar kehidupan manusia. Misalnya motif pring sedapur merupakan gambar rumpun bambu dengan daun-daun menjuntai. Ada burung merak bertengger. Warna dasarnya putih dengan batang bambu warna biru. Sedangkan daunnya warna biru dan hitam.

Demikian pula motif gedeg rubuh, coraknya mirip seperti anyaman bambu yang miring. Kalau mrico bolong, motifnya berupa bulatan merica berlubang.

Usaha batik tulisnya itu dimulai Hindun pada 1996. Semula semuanya ditangani sendiri mulai dari mendesain, meramu bahan pewarna, membatik, sampai memasarkan hasilnya. Namun perjalanan waktu menunjukkan usahanya mengalami perkembangan. Awalnya dia mampu membuat tiga lembar sebulan. Kini bisa mencapai puluhan lembar setelah mempekerjakan karyawan. 

Perubahan itu terjadi pada tahun 2000. Setelah tahun itu, usahanya mulai dikenal masyarakat dan omzet pesanan terus mengalir. Resikonya dia harus sesekali kerja lembur untuk memuaskan pembeli. Kendati demikian, dia belum mampu memenuhi semua pesanan pelanggan, sehingga harus merekrut pekerja dari tetangganya. Para pekerja itu hanya bisa membatik dan tak mahir mendesain, meramu obat batik serta tak bisa memasarkan hasil kerajinannya.

Pengalaman berbeda diutarakan pengrajin batik tulis Ernawati. Pengusaha sepatu di Surodinawan, Prajurit kulon ini, mulai belajar menjadi seorang pengrajin batik tulis saat masih duduk di kelas 4 SD. Dia mengawali keseriusannya dalam dunia batik sejak tahun 1994.

”Waktu itu, penjualannya hanya sebatas pada teman. Tapi sering kali mereka ikut membantu memasarkan pada kenalan masing-masing,” kata istri dari M. Zainudin yang juga sebagai pengusaha sepatu.

Setelah ijin produksi usahanya sebagai pengrajin batik tulis turun pada tahun 2001, maka dia pun lebih keras dalam memasarkan dan mengenalkan batik tulis khas Mojokerto itu pada masyarakat. Untuk menumbuhkan rasa cinta masyarakat, ia lakukan dengan bergabung pada perkumpulan-perkumpulan wanita yang ada di Mojokerto. Misalnya Paguyuban Pemberdayaan Perempuan Pengembangan Ekonomi Lokal (P3EL) dan Keluarga Informasi Masyarakat Kota. Selain itu, ia juga mengembangkan di SD di Surodinawan dengan status guru khusus kerajinan batik tulis.

Sedangkan motif batik yang dikembangkan Ernawati mencapai lebih dari 30 macam. Tapi produk miliknya ada 6 motif dan sudah di hak ciptakan dari Disperindag, seperti mrico bolong, rawan inggek, sesek grenseng, matahari, koro renteng, dan rengsedapur. “Kebetulan waktu itu memang ada kolektif, dan yang saya daftarkan itu merupakan motif yang paling diminati,” ujarnya.

Menurut ia, enam motif batik tulisnya memiliki daya tarik masing-masing, bahkan motif matahari pernah di pamerkan ke Australia 2007 lalu. Dengan ukuran tiga kali lipat besar kain yang biasanya dipakai.

Untuk harga, batik tulis Hindun dan Ernawati nyaris sama. Batik sebesar taplak ditawarkan Rp 37.500. Sedangkan batik yang berbahan katun berkisar Rp 125 ribu hingga Rp 1,4 juta. Harganya melambung jadi Rp 300 ribu sampai Rp 2 juta jika berbahan sutra. 

Pasar yang kini telah diraih tidak terbatas di wilayah Mojokerto. Namun sudah merambah ke Malang, Surabaya, betawi, Jakarta, Medan hingga Banjarmasin. Selain itu, Disperindag Kab. Mojokerto juga memberi dukungan pemasaran sampai ke Palembang dan pameran-pameran tingkat nasional. (tribunonline@gmail.com)

Kolam Segaran tempat Gembleng Pasukan Perang Majapahit


oleh Lucky Errol
 

Kolam segaran bagi Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu situs peninggalan Kraton Majapahit, yang dituahkan dan dibanggakan masyarakat Trowulan khususnya dan Mojokerto umumnya. Banyak kisah yang mengiringi keberadaannya. Namun, yang paling diyakini para sesepuh daerah tersebut, keberadaannya merupakan area tempat penggemblengan pasukan perang laut sebelum dikirim dalam misi penaklukan.


LETAK Kolam Segaran sekitar 500 meter arah selatan jalan raya Mojokerto-Jombang. Konon nama tersebut berasal kata segoro-segoroan yang berarti telaga buatan, seperti yang terdapat dalam buku Negara Kertagama pupuh VIII halaman 5.3, yang tersurat di daerah Trowulan terdapat sebuah telaga yang multiguna.

Menurut data museum Trowulan, kolam Segaran konon dibuat pada abad ke-14. Luas kolam ini 175m x 375m, dengan kedalaman sekitar 2,80m dan tebal dinding bangunan 1,60m. Air kolam berasal dari Balong Bunder dan Balong Dowo yang berada di sebelah selatan dan barat daya kolam. Saluran air masuk ke kolam ada di bagian tenggara. Sedangkan di sebelah selatan sudut timur laut dinding sisi luar terdapat 2 kolam kecil berhimpitan, sementara di sebelah barat sudut timur terdapat saluran air menembus sisi utara. Di bagian tenggara terdapat saluran air masuk ke kolam dan saluran air keluar di bagian barat laut.

Dengan ukuran yang sangat besar itu, kolam yang menjadi salah satu simbol kejayaan Kraton Majapahit ini, diakui beberapa ahli anthropologi nasional sebagai kolam kuno yang terbesar di Indonesia. Sedangkan pintu masuknya terletak disebelah barat, dengan bentuk tangga batu bata kuno.

Kolam yang banyak menyimpan kisah-kisah mistis ini ditemukan pada tahun 1926 oleh seorang Belanda, Ir Henry Maclain Pont bekerjasama dengan Bupati Mojokerto pertama yaitu Kromojoyo. Sejak ditemukan hingga saat ini, telah beberapa kali dilakukan pemugaran yaitu tahun 1966, 1974, dan 1984.

Kisah mistis keberadaan kolam ini, diawali saat pemugaran pertama dengan penemuan bandul jaring, kail pancing dari emas, dan sebuah piring berbahan emas dalam kondisi 60%. Semua penemuan itu tersurat di salah satu dinding Museum Trowulan. Posisinya di sebelah kanan batu Surya Majapahit.

Banyak cerita rakyat yang berkembang mengiringi keberadaan kolam Segaran. Misalnya, tentang fungsinya sebagai tempat pemandian putri-putri raja. Cerita lain yang datang dari daratan Cina, kolam tersebut sering dimanfaatkan para Maharaja Majapahit untuk bercengkerama dengan permaisuri dan para selir kedatonnya. Kolam tersebut juga digunakan Maharaja Hayam Wuruk untuk menjamu tamu agung dari Kerajaan Tiongkok, bahkan dalam acara perjamuan itu Hayam Wuruk pamer kekayaan dengan membuang peralatan pesta yang kotor ke dalam kolam.

Kisah lain yang ditambahkan salaqh satu sesepuh Trowulan, Sri Lestari Utami (62th), kolam Segaran juga difungsikan sebagai tempat penggemblengan para ksatria laut Majapahit. Penggemblengan dilakukan saat usai rekruitmen prajurit. Juga saat para pasukan pilihan akan dikirimkan dalam misi penaklukan terhadap kerajaan lain.

”Dukuh Segaran dulu merupakan pawon sewu (dapur umum) untuk memasak ransum buat para ksatria laut dan ksatria Bhayangkara (angkatan darat, red) saat pelatihan di kolam Segaran,” tambah Joko Umbaran (58th).

Menurut pria yang juga sesepuh warga dukuh Segaran desa Trowulan ini, area kolan Segaran ini selalu digunakan Mahapatih Gajahmada untuk mempersiapkan pasukan Bhayangkara yang dikendalikan. Tempat latihan pasukan darat ini di lapangan Bubat (sebelah barat dukuh Segaran). 

Kontroversi Masyarakat
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang senantiasa menjaga martabat dihadapan para tamu asing. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan perabot makan dari emas, sehingga prestise Majapahit dihadapan para tamunya sangat tinggi. Pencitraan kemakmuran dan kekayaan Majapahit itu dikuatkan dengan cerita rakyat, bahwa Majapahit sering menjamu para tamu asingnya di tepian kolam Segaran dan perabot makan yang kotor langsung dibuang ke dalam kolam.

Memang, sampai saat ini perjamuan makan masih menjadi kontroversi masyarakat. Sebab ada sebagian masyarakat beranggapan perabot makan yang dibuang ke kolam akan diambil kembali untuk dicuci, setelah para tamu asing itu meninggalkan acara perjamuan. Ada pula yang beranggapan, perabotan yang dibuang ke kolam itu tak pernah diambil lagi. Sehingga di zaman modern ini banyak ditemukan oleh beberapa masyarakat Trowulan yang beruntung.

”Soal kebenaran dari kebiasaan perjamuan di tepi kolam Segaran itu, sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Pasalnya cerita rakyat yang berkembang itu berdasar dari persepsi dan temuan mereka,” kata Joko Umbaran sembari memandang kepulan asap kreteknya.

Dengan data sejarah yang tersimpan di Museum Trowiulan, juga berdasar variasi cerita rakyat yang berkembang. Pensiunan Dinas Purbakala Kab. Mojokerto ini menyimpulkan bahwa, pembuatan kolam Segaran memiliki prioritas utama penunjang perekonomian rakyat, khususnya dibidang pertanian. Itu terbukti dari fungsinya saat ini sebagai waduk pengairan untuk sawah-sawah masyarakat sekitarnya.

”Kisah mistis yang terbukti, tanaman padi yang diari oleh Waduk Segaran menghasilkan padi yang punel dan enak untuk dimakan,” ujarnya. (swaramajapahit@gmail.com)

Rambak Bangsal Produk Unggulan di Tingkat Nasional



oleh Fakih Ahmad  

Berkunjung ke Kabupaten Mojokerto jika tidak membawa ole-ole rambak Bangsal, banyak wisatawan lokal menilai belum afdol. Kekuatan pencitraan itu membuat rambak Bangsal sangat populer di tingkat nasional, bahka krupuk berbahan kulit sapi ini telah dicitrakan sebagai salah satu icon industri Kab. Mojokerto. 

SEKITAR 4 kilometer dari Mojokerto ke arah timur menuju Malang, terlihat jajaran pedagang krupuk rambak menawarkan dagangannya di kios-kios pinggir jalan. Mereka bertumpahan di kiri-kanan jalan sepanjang sekitar 1km. Sesekali terlihat salah satu kios dikunjungi pembeli. Mulai dari yang mengendari sepeda motor hingga bis wisata.

Krupuk rambak yang dibeli tidak hanya rambak goreng yang telah dikemas dalam plastik seharga Rp 10.000 hingga Rp 30.000. Namun, juga yang mentah (krecek) terlihat diborong.
”Sudah lima tahun lebih saya menggantikan orang tua jualan rambak dan krecek di sini. Hasilnya lumayan. Dapat digunakan untuk membiayai kuliah anak-anak,” kata Rahmat sembari melayani pembelinya.

Rambak dan krecek yang dijual di kiosnya, diakui bapak tiga orang anak ini, dikulak dari pengrajin di Kauman-Bangsal. Letak kedua tempat pengrajin tak jauh dari kios dagangannya. Untuk kulakan cukup diangkut dengan motornya.

Pengrajin rambak yang menjadi langganannya, menurut ia, hampir semua pengrajin yang ada di Kauman – Bangsal. Kebiasan yang dianut tidak beda yang dilakukan rekan pedagang lainnya. Ini terjadi lantaran jadwal kulakan masing-masing pedagang nyaris tidak sama dengan keberadaan rambak atau krecek, yang ditawarkan pengrajin langganan.

”Jika kami fanatik kulakan pada satu atau beberapa pengrajin saja, pasti saya akan mengalami kerepotan. Pasalnya keberadaan rambak dan krecek seorang pengrajin waktunya tidak pasti, sehingga harus kulakan ke pengrajin agar kios saya tidak kosong,” ujarnya.

Saat mengunjung Desa Kauman, terlihat sebuah pemandangan ada di kiri kanan jalan. Sepanjang mata memanjang jalan desa, tampak tebaran terpal penjemuran krecek. Sehingga jalan yang tersisa hanya cukup dilalui sebuah sedan. Ini karena 50% warga Bangsal merupakan pengrajin, jasa pengeringan, penggorengan dan distributor rambak serta krecek. 

Proses Pencucian
Salah satu pengrajin yang populer diantara sesamanya adalah H. Khomsun (44th). Bagaimana tidak, hanya kurun 7 tahun menekuni profesi pengrajin krecek, mantan penjual balon keliling ini sudah mampu mengubah tingkat ekonomi keluarganya, naik haji sekeluarga, membeli mobil, dan membeli gudang untuk mengembangkan bisnisnya yang harganya ratusan juta rupiah.

”Ilmu membuat krecek ini, saya dapatkan dari teman-teman pengusaha dan H. Jainul kakak kandung saya,” kata pria yang merintis bisnisnya dengan modal Rp 9 juta hasil penjualan sepeda motor.

Dalam menekuni bisnisnya, dibantu 11 karyawan. Mulai dari proses pencucian hingga pemotongan. Omset penjualan kini mencapai 5 kwintal per minggunya. Bahkan melonjak 10 ton sepanjang bulan Romadhon.

“Produk saya tersebar di beberapa kota di Jatim, seperti Malang, Pasuruan, Surabaya. Bahkan Ambon, Kalimantan dan Papua juga kami layani,” kata pemilik Farid Jaya, yang namanya diambil dari anak pertamanya.

Nasib usahanya, ternyata sejaya nama produknya. Betapa tidak. Saat beberapa bulan lalu berembus isu negatif, bahwa krecek atau rambak ada yang berbahan limbah jaket atau sepatu kulit, ternyata bisnisnya tak goyah. Angka penjualan tetap stabil.

”Jika ada yang menyebut bahan rambak adalah limbah. Pendapat itu tidak salah, tapi limbah yang mana. Bahan krecek adalah irisan kulit sapi bagian dalam, sementara kulit bagian luarnya untuk jaket atau sepatu,” ujarnya.

Harapannya pendapat tentang limbah kulit itu tidak diplesetkan. Menurut ia, kulit yang digunakan sebagai bahan selama menekuni bisnisnya, adalah lapisan kulit yang dibeli di pabrik pengolahan kulit di Sidoarjo, Krian, dan Malang. Kondisi kulit saat dibeli juga masih mentah. Bukan kulit samakan sisa produk bahan jaket dan kulit.

Kendati demikian, kulit yang dibelinya tidak langsung diiris-iris. Namun melalui beberapa proses pencucian yang berulang, dan direndam dalam air gamping selama 40 jam. ”Proses pencucian dan perendaman air gamping untuk menghilangkan bakteri atau zat-zat beracun yang menempel, sehingga steril dan higines,” katanya. (tribunonline@gmail.com)